EKSISTENSI
DAN KEWENANGAN
MAHKAMAH
SYAR’IYAH
I.
Latar Belakang
Menurut
catatan sejarah, Aceh merupakan daerah pertama masuk dan berkembangnya agama
Islam di bumi nusantara ini. Pada zaman jayanya kerajaan Aceh Darussalam, hukum
yang berlaku adalah hukum yang bersumber dari syari’at Islam. Di samping itu
adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh juga adat istiadat yang
bersumber dan sejalan dengan hukum islam. Oleh karena itu ada ungkapan “Hukom
ngon adat, lage zat ngon sifeut”, maksudnya hukum dengan adat seperti zat
dengan sifat Allah.
Lembaga
peradilan Islam pada masa kerajaan Aceh dipegang oleh Qadhi Malikul Adil yang
berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana lembaga ini dapat disamakan dengan
Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi. Sedangkan di masing-masing daerah
uleebalang terdapat Qadhi Uleebalang.
Dalam
masa penjajahan Belanda, sistem Peradilan Islam yang telah ada di Aceh turut
diubah sesuai dengan kepentingan penjajah waktu itu. Pengadilan Agama di daerah
ini waktu itu merupakan bagian dari Pengadilan Adat.
Ketika
Jepang berkuasa di Aceh, status Pengadilan Agama ditingkatkan kembali berkat
perjuangan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yakni dengan dikeluarkannya
Atjeh Syu Rei (Undang-undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal 15 Februari 1944
tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Berdasarkan bunyi pasal 1 dari
Undang-undang Daerah Aceh tersebut, pembentukan Mahkamah Agama ini adalah untuk
menghormati Agama Islam dan untuk menjalankan Syari`at Islam yang patut dan
sesuai di dalam daerah Aceh. Namun demikian kewenangan Mahkamah Agama ini masih
sangat terbatas pada perkara-perkara perdata tertentu saja, yakni tentang
perkara yang bersangkutan dengan urusan perkawinan dan urusan faraidh (
Kewarisan).
Di
awal kemerdekaan Republik Indonesia keberadaan Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan
Agama) di Aceh selain merupakan kelanjutan dari Mahkamah Agama di zaman Jepang,
juga didasarkan pada kawat Gubernur Sumatera (Mr. Teuku. Muhammad Hasan)
bertanggal 13 Januari 1947 No. 189 dan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama
Provinsi Sumatera bertanggal 22 Pebruari 1947 No. 226/3/Djaps yang berisi
perintah untuk membentuk Mahkamah Syar`iyah di Aceh.
Eksistensi
dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah tersebut kemudian dikuatkan pula dengan
Keputusan Badan Pekerja Dewan Perkawilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember
1947. Setelah itu Mahkamah Syar`iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga
dikuatkan pula dengan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1957 setelah melalui
perjuangan panjang masyarakat Aceh, terutama para Ulama dan tokoh masyarakat.
Dari
gambaran tentang keberadaan Peradilan Islam khususnya Mahkamah Syar`iyah pada
masa lalu di Aceh sebagaimana diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa kehadiran
Peradilan Syari`at Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada
masyarakat Aceh tetapi lebih merupakan “pengembalian hak masyarakat Aceh yang
telah pernah hilang”. Oleh karena itu kehadiran dan kiprahnya di tengah
masyarakat Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan Syari`at Islam secara Kaffah di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan hal yang ditunggu-tunggu.
II.Existensi
Mahkamah Syar’iyah
Berdasarkan
pasal 10 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, lingkungan peradilan terdiri dari :
a.
Peradilan Umum;
b.
Peradilan Agama;
c.
Peradilan Militer; dan
d.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Ke-empat
lingkungan peradilan tersebut dikukuhkan kembali dalam pasal 24 ayat (2) UUD
1945 dengan menambahkan Mahkamah Konstitusi, melalui amandemen ketiga UUD 1945
yang disahkan tanggal 19 November 2001.
Bahwa
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, belum menampung sepenuhnya hak, asal usul dan keistimewaan serta untuk
adanya keselarasan penyelenggaraan keistimewaan dalam penyelengaraan
pemerintahan di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, maka pada tanggal 9 Agustus
2001 telah disahkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang ini dicabut, kemudian disahkan Undang-undang No 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Sebagai
upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN tahun
1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001
(Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
dideklarasikan adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem
Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 /
pasal 128 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006). Dengan demikian lingkungan
Peradilan di Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari
pihak manapun terdiri dari :
a.
Peradilan Umum;
b.
Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah;
c.
Peradilan Militer; dan
d.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan
Syari’at Islam juga dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang disebut
Mahkamah Syar’iyah. Hal ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU
No.18/2001 pasal 128 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 yang menentukan
kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syari’at Islam dalam Sistem Hukum
Nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Untuk
memahami ketentuan tersebut ada dua kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu :
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syari’at Islam.
Syari’at
Islam merupakan jalan hidup bagi setiap muslim. Syari’at memuat
ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun
suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi
ilmu hukum, syari’at merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang
wajib diikuti oleh setiap orang islam atas dasar keimanan dan berkaitan dengan
akhlak, baik dalam hal komunikasi dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Norma hukum dasar ini merupakan ketetapan Allah, kadang-kadang dijelaskan dan
atau dirinci lebih lanjut oleh Rasul-Nya Muhammad SAW melalui Hadits. Syari’at
Islam bersumber pokok pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Menurut
keterangan hadits, barang siapa berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai norma hukum dasar, maka dalam meniti kehidupannya dijamin pasti tidak
akan sesat untuk selama-lamanya. Syari’at Islam meliputi segala ketentuan yang
berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia yang merupakan implimentasi dari
Agama Islam. Pengertian Syari’at dalam arti luas meliputi I’tiqadiyah atau
keimanan, “Amaliyah terdiri dari ibadah dan muamalah, serta akhlak.
Dari
gambaran di atas, memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada saat merumuskan
ketentuan pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, pembuat Undang-undang
cukup memahami ruang lingkup dari Syari’at Islam sebagaimana pemahaman
sebenarnya. Dengan demikian, rumusan kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan
atas Syari’t Islam, harus dipahami bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah meliputi
aspek Aqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak yang diatur lebih lanjut dengan
Qanun;
Dalam
sistem hukum nasioal.
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahewa hukum nasional mengandung makna hukum yang
berlaku baik bagi seluruh atau untuk sebagian penduduk di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau juga disebut dengan hukum positif. Selama ini
telah ada beberapa ketentuan hukum Islam (dibidang hukum keluarga dan muamalah)
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama atau telah berlaku sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, sudah menjadi sistem hukum nasional.
Bahwa
rumusan kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syari’at Islam,
mengandung arti bahwa semua aspek dari Syari’at Islam merupakan kewenangan dari
Mahkamah Syar’iyah termasuk bidang hukum pidana (Jinayah). Hal ini menunjukkan
bahwa Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-undang Nomor 11 tahun 2006)
telah mendeklarasikan berlakunya Syari’at Islam sebagai hukum positif di
Republik Indonesia. Dengan demikian ketentuan Syari’at Islam secara kaffah
dilakukan melalui Qanun, dan merupakan sistem hukum nasional.
III.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Pasal
25 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-undang Nomor 11 tahun
2006 pasal 128 ayat (3)) memberikan kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah atas
dasar Syari’at Islam melalui Qanun Propinsi. Atas dasar kewengan tersebut telah
ditetapkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
Pemberian
wewenang untuk membuat ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001,
terdapat dalam beberapa pasal, termasuk pasal 25 ayat (2) yang mengatur
kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Disamping itu terdapat ketentuan yang lebih
tegas dalam pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, bahwa
ketentuan pelaksanaan Undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Untuk itu telah disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam.
Pasal
49 Qanun Nomor 10 tahun 2002 menentukan Mahkamah Syar’iyah bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat
pertama, dalam bidang :
Ahwal
al-syakhshiyah;
Mu’amalah;
dan
Jinayah
Lebih
lanjut dalam pasal 50 ayat (1) ditentukan kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Propinsi untuk memeriksa, dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan
Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding.
Apa
yang diatur pada pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 joncto pasal 49
Qanun Nomor 10 tahun 2002, adalah merupakan ketentuan khusus yang mengatur
tentang kewenangan Peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara,
bagi orang Islam yang berada diwilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ketentuan tersebut mengenyampingkan ketentuan pasal 50 Undang-undang Nomor 2
tahun 1986 tentqng Peradilan Umum yang menentukan “ Pengadilan Negeri bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata pada tingkat pertama”. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 44 tahun
1999 dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 maka kewenangan memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata (sepanjang telah diatur
dalam Qanun) bagi orang Islam menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
Bahwa
Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 dan
Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 adalah merupakan produk nasional dan
menempati posisi sebagai Undang-undang Khusus. Pemberlakuan Undang-undang
Khusus mengenyampingkan ketentuan Undang-undang lainnya yang mengatur hal yang
sama. Hal ini disamping telah menjadi teori ilmu hukum, juga dengan tegas
dikatakan dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 bahwa “semua
peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan
Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam”. Penafsiran a Contrario atau mafhum mukhalafah mengatakan, semua
peraturan perundang-undangan lain menjadi tidak berlaku, dalam hal telah
terdapat pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001. pengertian
ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
diperintahkan atau diberi wewenang oleh Undang-undang tersebut, seperti Qanun
Nomor 10 tahun 2002.
Untuk
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan Mahkamah Syar’iyah sebagai peradilan
Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya pelaksanaan Syari’at
Islam secara kaffah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh atau Jihad
dari segala komponen masyarakat di Nanggroe ini, terutama upaya yang terus
menerus meningkatkan SDM, profesionalitas, integritas dan kualitas ketaqwaan
dari insan-insan tenaga perangkat Gampong. Disamping itu jihad yang
sungguh-sungguh juga masih terus diperlukan untuk memperjuangkan pesan-pesan
yang telah dinukilkan dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 44
tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 11 tahun
2006 menjadi kenyataan.
IV.
Kewenangan dalam Jinayah
Sebagaimana
tersebut dalam penjelasan pasal 49 Qanun No.10 tahun 2002 tentang Peradilan
Syari’at Islam, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Jinayah adalah
sebagai berikut :
1.
Hudud yang meliputi :
–
Zina
–
Menuduh orang berzina (Qadhaf)
–
Minuman keras dan Napza
–
Murtad
–
Pemberontakan (Buqhaat)
2.
Qishash yang meliputi :
–
Pembunuhan dan penganiayaan
3.
Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran
Syari’at selain hudud dan Qishash/diat seperti: Judi, Khalwat, meninggalkan
shalat fardhu dan puasa ramadhan.
Melihat
kewenangan yang diberikan oleh qanun tersebut, berarti keseluruhan pidana atau
jinayah menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah khusus dalam bidang jinayah, maka
lahirlah qanun yang menjadi hukum material antara lain :
1.
Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, ibadah
dan Syiar Islam.
2.
Qanun No.12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.
3.
Qanun No.13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
4.
Qanun No.14 tahun 2003 tentang khalwat (Mesum).
VI.
Pelaksanaan Jinayah
A.
Azas Personalitas
Berdasarkan
ketentuan pasal 25 ayat (3) UU No.18 tahun 2001, kewenangan Mahkamah Syar’iyah
dalam melaksanakan Syari’at Islam diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pemberlakuan hukum jinayah hanya bagi pemeluk agama Islam menunjukkan bahwa
kewenangan Mahkamah Syar’iyah dibatasi oleh UU berdasarkan kepada azas
personalitas.
Azas
personalitas adalah azas yang dianut di mana para pihak yang berperkara untuk
dapat diproses pada suatu lembaga Peradilan didasarkan pada identitas yang
melekat pada dirinya identitas tersebut menurut ketentuan UU adalah identitas
agama yakni beragama Islam.
Dalam
qanun nomor 10 tahun 2002 tidak disebut hanya berlaku untuk orang Islam, hanya
menyebutkan tentang kewenangannya saja sebagaimana tersebut pada pasal 49,
sedangkan pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa lembaga peradilan yang dibentuk
melaksanakan Syari’at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemahaman yang dapat diambil dari pasal 25 ayat (3) UU No.18 tahun 2001
menunjukkan bahwa kesemua bidang kewenangan berlaku azas personalitas.
Dalam
praktek hukum, azas personalitas hanya dapat diberlakukan dalam hukum perdata.
Adapaun dalam bidang pidana atau jinayah diakui secara universal berlaku azas
teritorial, artinya proses peradilan pada pidana didasarkan pada teritorial
atau wilayah hukum kejadian perkara.
Oleh
Undang-undang menyebutkan secara khusus azas personalitas tersebut berlaku
untuk pidana (Jinayah), dan qanun nomor 10 tahun 2002 juga tidak memperjelas
hal itu, maka haruslah dipakai ketentuan yang dipahami secara umum yakni untuk
perkara jinayah atau pidana di Aceh berlaku azas teritorial.
Bila
azas teritorial diberlakukan, para pelanggaran qanun dalam wilayah Nanggroe
Aceh Darussalam akan mendapat hukuman secara adil, artinya sama-sama dihukum
sesuai ketentuan qanun tanpa perlu melihat identitas dalam jinayah justru
memberi kesan bahwa dalam penegakan hukum Islam di Aceh bersifat tidak adil,
karena terhadap pelaku kasus pelanggaran jinayah yang sama tetapi dihukum
dengan hukum yang berbeda, sehingga azas keadilan dalam hukum tidak tercapai
karena yang satu dicambuk yang lain tidak, hanya karena yang lain bukan muslim,
padahal jinayah yang dilanggar pada kejadian dan saat yang sama serta dalam
wilayah hukum yang sama yaitu Nanggroe Aceh Darussalam. Keadaan ini baru
dirasakan adil bila keduanya dihukum dengan hukum yang sama tanpa harus melihat
identitas dari pelanggar jinayah itu sendiri.
B.
Penyelesaian Perkara Jinayah
Bagi
masyarakat Islam melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah baik dalam kehidupan
pribadi atau masyarakat adalah perintah Allah. Karenanya melaksanakan Syari’at
Islam merupakan kewajiban suci yang harus diupayakan dan diperjuangkan sebagai
penyempurnaan iman dan tunduk kepada hukum Allah.
Dalam
proses penyelesaian perkara jinayah, meskipun baru terbatas pada maisir, khamar
dan khalwat, adanya kekhawatiran akan adanya permasalahan dalam pelaksanaannya
masih belum terbukti. Hal ini lebih disebabkan karena penegakan Syari’at Islam
memberikan rasa kepuasan dan keadilan dengan hukum yang sesuai dengan
keimanannya, dan keadilan karena dipandang hukuman yang diberikan sepadan
dengan kesalahannya. Bahkan penerapan hukum sangat mempengaruhi secara nyata
perasaan hukum, kepuasan hukum manfaat hukum, kebutuhan atau keadilan hukum
secara individual dan sosial.
Adanya
fakta historis bahwa keinginan untuk melaksanakan akan Syari’at Islam yang
sekarang berlaku di Aceh, merupakan buah perjuangan yang telah sekian lama
diperjuangkan, dan ketika dimungkinkan untuk ditegakkan memberikan suatub rasa
kepuasan dan keadilan bagi hukum yang dicita-citakan.
Sejarah
Mahkamah Syar'iyah Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aceh merupakan
salah satu Provinsi di Indonesia yang diberikan istimewa oleh pemerintah pusat.
Keistimewaaan yang diberikan itu dikarenakan kontribusi Aceh dalam mewujudkan
kemerdekaan RI Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Atas
perjuangan dan jasa-jasa para pahlawan dari Aceh sehingga dapat mengantarkan
Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Oleh karenanya, provinsi lain tidak
perlu iri melihat kondisi Aceh yang diperlakukan berbeda dengan
Provinsi-Provinsi lain.
Aceh menuntut
agar diberlakukan syari’at Islam secara kaffah, dengan senang hati pemerintah
memberikannya. Aceh meminta agar
pemerintah memberikan otonomi khusus, pemerintah pusat juga tidak keberatan
memberikannya. Sehingga banyak Undang-Undang di Aceh dewasa ini yang dapat kita
saksikan betapa banyaknya kewenangan dan keistimewaan yang diberikan kepada
Aceh. Seperti pada tahun 1999 pemerintah pusat telah mensahkan UU Nomor 44
tentang Keistimewaan Aceh yang memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam bidang
pendidikan, pelestarian kehidupan adat, dan penerapan syariat Islam. Kemudian
pada tahun 2001 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang
otonomi khusus yang diperuntukkan kepada provinsi Aceh. Kemudian pada tahun
2006 pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh.
Berbagai
peraturan perundang-undangingin di atas mengindikasikan bahwa Aceh memiliki
keistimewaan dan prestasi besar dibandingkan dengan provinsi lain. Dalam bidang
hukum dan institusi penegakan hukum (institution of law enforcement) juga
berbeda. Di provinsi lain, tidak dikenal mahkamah syar’iyah sebagai lembaga
pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang diajukan oleh umat Islam kepadanya. Di daerah lain
sebutan mahkamah syar’iyah masih dikenal dengan nama Pengadilan Agama sebagai
pengadilan yang berwenang, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara
antara orang yang beragama Islam sesuai dengan kewenangan absolute dan
relatifnya masing-masing. Dalam Pasal 25 menyatakan (1) Peradilan Syariat Islam
provinsi NAD sebagai bagaian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1) didasarkan atas
syariat islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun
provinsi NAD. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan
bagi pemeluk agama Islam[1].
Selain itu,
kewenangan dari Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah memiliki perbedaan yang
signifikan. Mahkamah Syar’iyah diberikan kewenangan untuk mengadili
perkara-perkara jinayah yang telah diatur oleh qanun-qanun atau hukum positif
Aceh. Hal itu tidak diberikan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
kasus-kasus pidana.
Kajian historis
Mahkamah Syar’iah yang sekarang menjadi tempat menyelesaikan
persoalan-persoalan umat Islam tentu menjadi kajian yang sangat menarik untuk
dikaji. Mengingat Mahkamah Syar’iah merupakan yudicatif power yang hingga saat
ini masih berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang membagi
empat kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer.[2] Keempat lingkungan
Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan ruang
lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[3] Dari
keempat lembaga tersebut, disebutkan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga
kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada kenyataan empiris Mahkamah Syar’iyah di
Aceh menjalankan tugas-tugas kekuasaan kehakiman yang menggantikan posisi pengadilan
agama.
2. Rumusan
Masalah
Untuk
mengantisipasi agar pembahasannya tidak terlalu menyebar ke mana-mana, maka
akan digunakan batasan atau patokan dalam bentuk dua buah pertanyaan umum yang
ingin dicarikan jawabannya untuk dideskripsikan dalam pembahasan nanti. Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan
terbentuknya Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai lembaga yang independen yang
bertugas menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan perkara yang
diajukan kepadanya ?
B. Tujuan Penulisan
Hampir tidak
dijumpai bahwa setiap penulisan atau penelitian tanpa disertai oleh
tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis atau penelitinya. Akan tetapi
setiap penulis atau peneliti memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh penulis.
Sama halnya dengan penulisan ini juga memiliki tujuan ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah
perkembangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai lembaga yang bertugas menerima,
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
BAB II
SEJARAH
PERKEMBANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH
A. Sejarah Perkembangan Terbentuknya Mahkamah
Syar’iyah
Dalam setiap
kajian historis, tidak bisa dilepaskan rentan waktu tertentu, pertumbuhan dan
perkembangan. Begitu juga halnya dengan kajian historis Mahkamah Syar’iyah Aceh
yang masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Proses terbentuknya Mahkamah
Syar’iyah tidak langsung jadi, akan tetapi memiliki latar belakang sejarah yang
panjang. Secara umum, dalam buku yang berjudul ‘Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh’
terdapat tujuh periode perjalanan panjang Mahkamah Syar’iyah, yaitu:
1. Zaman Kesultan Aceh
Zaman kejayaan
Aceh, Peradilan Syariat Islam dipegang oleh “Qadhi Malikul Adil”. Status Qadhi
Malikul Adil tersebut sederajat atau dipersamakan dengan posisi Mahkamah Agung
sekarang. Pada saat itu kedudukannya di Kuta Raja (sekarang dikenal dengan
Banda Aceh). Oleh karena statusnya sebagai mahkamah tertinggi, maka setiap
putusan dari Mahkamah yang lebih rendah (putusan Qadhi Ulee Balang) dapat
dimintakan banding kepada Qadhi Malikul Adil. [4]
Bentuk
pemerintahan dan peradilan pada masa kerajaan Aceh dibagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu: peradilan tingkat Gampong, peradilan tingkat mukim, peradilan
ulee balang dan pengadilan Sultan. Dalam menjalankan peradilan di tingkat
Gampong, susunan dan tata kerjanya terdiri dari juru damai tingkat pertama yang
diketuai oleh Keusyik dan juru damai tingkat kedua yang diketuai oleh imeum
masjid atau imam mukim. Juru damai tingkat pertamahanya menyelesaikan
perkara-perkara perdata dan pidana yang diajukan oleh penduduk daerahnya.[5]
Peradilan
tingkat mukim berkedudukan di daerah kemukiman yang diketuai oleh kepala mukim
sebagai hakim ketua dengan anggota-anggotanya yang terdiri dari imeum masjid
yang bersangkutan, keuchik dan cerdik pandai. Peradilan mukim merupakan
pengadilan tingkat kedua yang mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan
oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan
tingkat Gampong. Para pihak yang berperkara dibebankan biaya perkara yang
digunakan untuk keperluan persidangan. Biaya itu disebut dengan istilah “hak
ganceng”.[6]
Pengadilan Ulee
Balang diketuai oleh Ulee Balang sendiri, wakil ketua, seorang ulama atau Qadhi
yang diangkat oleh Ulee Balang, anggotanya terdiri dari kepala mukim dan imeum
masjid atau cerdik pandai dari wilayah kekuasaannya.[7]
Pengadilan
Sultan merupakan pengadilan tertinggi yang mengadili perkara-perkara besar dan
perkara yang dimintakan banding atau semacam permohonan kasasi. Susunan
pengadilan ini diketuai oleh Sultan sendiri, wakil ketua adalah seorang ulama
besar yang disebut Qadhi Malikul Adil, anggota-anggota adalah beberapa ulama
ulee baling dan cerdik pandai. Penyelesaian perkara-perkara besar seperti
perkara yang diancam dengan hukuman had dan qishash diketuai oleh Sultan
sedangkan perkara biasa diketuai oleh Qadhi Malikul Adil sebagai ketua
siding.[8]
2. Zaman Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda tidak ada pemisahan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan
Negeri. Pada waktu itu hanya ada satu corak pengadilan untuk mengadili dan
menyelesaikan perkara baik yang berhubungan dengan golongan Eropa atau yang
dipersamakan dengan golongan Eropa maupun golongan bumi Putera sendiri.
Pada masa ini,
Peradilan Syari’at Islam di Aceh merupakan bagian dari Peradilan Tingkat Ulee
Balang yang diketuai oleh Ulee Balang itu sendiri. Untuk tingkat afdeeling dan
onderafdeeling[9] disebut dengan “Meusapat”[10] dipimpin oleh Controleur dan
Ulee Balang serta pejabat-pejabat tertentu sebagai anggotanya. Berkaitan dengan
perkara hukum tentang agama diserahkan kepada Qadhi Ulee Balang untuk
memutuskannya.[11]
3. Zaman Pemerintahan Jepang
Jepang
mengeluarkan Undang-Undang “Atjeh Syu Rey” No. 12 tanggal 15 Februari 1844
tentang Mahkamah Agama (Syukio Hooin) ada tiga tingkatan Peradilan di Aceh[12]:
a. Syukio Hooin berkedudukan di Kuta Raja
b. Seorang kepala Qadhi, yang anggotanya
setiap kabupaten sekarang ini.
c. Seorang Qadhi Son di setiap Son
(Sekarang Kecamatan).
Pada saat itu,
yang menjabat sebagai Ketua Syukyo Hooin adalah Tgk. H. Ja’far Siddiq dan
anggota hariannya terdiri dari beberapa orang, yaitu: Tgk. Muhammad Daud Beureueh,
Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Said Abubakar.
4. Awal Kemerdekaan
Pada awal
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya bertepatan pada 17 Agustus 1945,
Gubernur Sumatera melalui surat kawat nomor 1189 tertanggal 13 Januari 1947
memberi izin kepada residen Aceh dengan kewenangan yang penuh (tidak memerlukan
pengukuhan dari Pengadilan negeri). Dan relatif luas di bidang kekeluargaan
(meliputi nafkah, kekayaan bersama, hak
pemeliharaan anak di samping perceraian dan pengesahan perkawinan) serta
kewarisan di seluruh Aceh. Dengan adanya surat kawat dari Gubernur tersebut,
Mahkamah Syar’iyah Aceh lebih dikembangkan kepada tiga tingkatan, yaitu:
Mahkamah Syar’iyah Kenegerian (di kecamatan) ada 106 buah, Mahkamah Syar’iyah
(di Kewedanaan)[13] ada 20 buah dan Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh di Kuta Raja
sebagai Pengadilan tingkat terakhir waktu itu.[14]
Pada masa
berdirinya Negara Federal Republik Indonesia Serikat pada 1949, Pengadilan yang
diakui oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) adalah Pengadilan
Swapraja, adat dan agama bahkan yang ada sebelum KRIS tetap berlaku. Pengadilan
Agama masih tetap berlaku berdasarkan staatblad 1882 No. 152. Sementara khusus
di Aceh, pembubaran provinsi ini menjadikan lembaga pengadilan agama tidak
terurus dan tidak jelas statusnya. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi karena
pada tahun yang sama juga keluar UU No. 1 Darurat 1951 yang intinya membubarkan
semua Peradilan Swapraja dan meleburkannya ke dalam Pengadilan Negeri. Meskipun
pengadilan agama tidak dibubarkan akan tetapi di sisi lain kedudukan Pengadilan
negeri semakin kuat dan system hukum warisan colonial membuat Pengadilan Agama
terpinggirkan. Setelah Provinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1956, usul
untuk pemberian status yang lebih jelas dan diakui secara resmi kepada lembaga
bentukan UU No. 1 Darurat 1957, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 29 tahun
1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Aceh serta susunan dan
kewenangannya.[15]
5. Periode
Tahun 1970-1999
Pada tahun
1970-1999 Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh dikembangkan ke seluruh
Indonesia, kecuali Jawa-Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dan Timur.
Pengembagan ini diatur berdasarkan PP No. 45 tahun 1957 sekaligus mencabut PP
No. 29 Tahun 1957).[16]
Dengan hadirnya UU No. 14 tahun
1970, kedudukan pengadilan agama sejajar dengan pengadilan umum, pengadilan
militer dan pengadilan tata usaha Negara, pembinaan tehnis yustisial dilakukan
oleh Mahkamah Agung. Sedangkan Organisatoris, administratif dan financial dilakukan
oleh Departemen Agama. Kemudian pada tahun 1980 berdasarkan keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia No. 6 tahun 1980, penyebutan pengadilan agama menjadi
sama yakni pengadilan agama. Menurut Hamid Sarong, masuknya otoritas eksekutif
dalam kekuasaan kehakiman ini disinyalir sebagai salah satu factor penyebab
utama kekuasaan kehakiman di negeri ini menjadi tidak independen.[17]
6. Era
Reformasi
Setelah Orde
Baru tumbang, lahirlah Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan
Aceh, yang memberikan kewenangan relatif luas pada Provinsi Aceh. Undang-Undang
No. 44 tahun 1999 mengangkat dan menghidupkan kembali Keistimewaan Aceh dan
memungkinkan secara nyata dalam masyarakat. Dalam penjelasan Undang-undang
nomor 44 tahun 1999 dinyatakan bahwa isi Keputusan Perdana Menteri RI
No.1/Missi/59 tentang keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama,
peradatan, dan pendidikan yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang No.
12 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah bahkan disertai dengan pembahasan
peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah. [18]
Secara normatif yuridis, Aceh telah
memiliki landasan untuk melaksanakan syari’at Islam. Landasan normatif yuridis
adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggro Aceh Darussalam.[19] Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mengamanatkan
bahwa Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara-perkara jinayat. Pemberlakuan jinayat merupakan sesuatu yang
baru bagi sejarah peradilan agama di Indonesia.[20] Pasal 49 qanun nomor 10
tahun 2002 mengatakan bahwa mahkamah syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang,
ahwal syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Wewenang sebagaimana termuat dalam
Pasal 49 didasarkan pada Pasal 25 UU Nomor 18 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa
kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syari’at Islam dalam system hukum
nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.[21] Sebelum dikeluarkan keputusan presiden RI No. 11 Tahun 2003
tentang Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, terdapat dua pandangan tentang
pembentukan Mahkamah Syar’iyah berkenaan dengan pelaksanaan UU No. 18 Tahun
2001. Pertama, mahkamah syar’iyah merupakan badan peradilan tersendiri di luar
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Kedua, mahkamah syar’iyah merupakan
pengembangan dari pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama yang mengacu
kepada UU No. 7 Tahun 1989 tentang pengadilan Agama.[22] Akhirnya melalui
proses panjang, Mahkamah Syar’iyah diresmikan pada tanggal 1 Muharram 1424 H,
yang bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003. Dasar hukum peresmiannya adalah
kepres No. 11 Tahun 2003, yang pada hari itu dibawa dari Jakarta dan dibacakan
dalam upacara peresmian. Isi kepres tersebut adalah perubahan nama pengadilan
agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah
Syar’iyah Provinsi dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara
lengkap.[23]
Penandatangan
persetujuan damai antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki pada tanggal 15
Agustus 2005 telah melahirkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Keberadaan UU tersebut sangat mempengaruhi dan memperkuat kedudukan Mahkamah
Syar’iyah dengan memberikan tempat khusus sebagai lembaga yudikatif, dan
berdampingan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.[24]
[1] Basiq
Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2010, Hlm 183-184
[2] Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia, cet. 1, (Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
2008), hlm, 3.
[3] Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.
160.
[4] Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh,
2007), hlm. 4.
[5] Hamid
Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 27.
[6] Ibid.,,
hlm. 28.
[7] Ibid.,,hlm.
29.
[8] Hamid
Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 30.
[9] Maksud dari
tingkat afdeeling dan onderafdeeling adalah daerah-daerah di luar aceh besar
dan singkil).lihat Prof. Hamid Sarong..,.,.,.,.,.hlm. 31.
[10] Meusapat
yaitu hakim besar di Aceh Besar dan Wilayah Singkil yang berkedudukan pada
tempat kedudukan controleur yang dasar hukumnya sebagaimana pada
districtrechter. Sedangkan districtarechter (hakim distrik) yaitu hakim kecil
di afdeeling Aceh Besar dan Singkil dengan kekuasaannya meliputi seluruh distrik
susunannya sebagai berikut: yang menjadi hakim ialah kepala-kepala distrik
yaitu Ulee Balang dan Kepala Mukim (zelf standing Mukim hoof). Lebih lanjut
lihat juga bukunya Prof. Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah
Aceh., ), hlm.32-333.
[11] Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh,
2007), hlm. 4.
[12] Ibid.,,
hlm. 4.
[13] Soufyan M.
Saleh menyebutnya dengan istilah Pengadilan Tingkat Banding, lihat juga Soufyan
M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh,.,.,.hlm. 4.
[14] Hamid
Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 44.
[15]
Ibid.,,,hlm. 45.
[16] Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh,
2007), hlm. 6.
[17] Hamid
Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 49.
[18] Ibid, Hlm 187
[19] Achmad Gunaryo,
Pergumulan Politik & Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.
317.
[20] Ibid.,,
hlm. 360.
[21] Ibid.,
hlm. 366.
[22] Husni
Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara
Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hlm. 208.
[23] Hamid
Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh .,,hlm. 54.
[24]
Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah
Syar’iyah Aceh, 2007), hlm. 7.
SEKILAS DARI
PENGADILAN AGAMA KE MAHKAMAH SYAR’IYAH
Di era
reformasi, semangat dan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam kembali
menggema dikalangan rakyat Aceh, disamping tuntutan referendum yang juga
disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada waktu itu.
Para Ulama dan
Cendikiawan muslim semakin insentif menuntut kepada Pemerintah Pusat, agar
dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan mengangkat kembali martabat rakyat
Aceh supaya dapat diizinkan dapat menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek
kehidupan. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya 2
(dua) Undang-undang yang sangat penting dan fundanmental, yaitu :
Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Masyarakat Aceh
menyambut baik lahirnya kedua Undang-undang tersebut dengan penuh rasa syukur,
sehingga selanjutnya Pemerintah Daerah bersama DPRD pada saat itu, segera pula
melahirkan beberapa peraturan Daerah sebagai penjabaran dari kesempatan yang
diberikan oleh Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut. Sekaligus untuk
mewarnai secara nyata Keistimewaan Aceh yang sudah lama dinanti-nantikan
tersebut, antara lain :
PERDA Nomor 3
Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU);
PERDA Nomor 5
Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam;
PERDA Nomor 6
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan ;
PERDA Nomor 7
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat ;
Pada tahun 2001
Pemerintah Pusat kembali mengabulkan keinginan rakyat Aceh memndapatkan Otonomi
Khusus melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang tersebut diundangkan dalam lembaran Negara pada tanggal 9 Agustus
2001. lahirnya Undang-undang tersebut terkaitk erat dengan Undang-undang Nomor
44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistemewaan Aceh, yaitu dalam upaya
membuka jalan bagi pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat
dibumi Serambi Mekah.
Salah satu
amanat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut adalah diberikan peluang
dan hak bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk Peradilan
Syari’at Islam, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari
sistem Peradilan Nasional (Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001).
Dibidang
lainnya, untuk menyahuti kelahiran Undang-undang tersebut secara keseluruhan,
Pemerintah Daerah melalui SK Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk
beberapa tim untuk segera menyusun Rancangan Qanun (sekitar 27 Qanun) dalam
melaksanakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. salah satu diantaranya adalah
tim Penyusunan Qanun Syari’at Islam yang
dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(belum berubah menjadi MPU), Dr Muslim Ibrahim, M.A.
Tim tersebut
dibagi lagi kepada beberapa sub tim antara lain :
Tim Rancangan
Qanun tentang Mahkamah Syar’iyah, diketuai oleh Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH.
Tim Rancangan
Qanun Pelaksanaan Syari’at Islam dibidang ibadah dan syi’ar Islam, dipimpin
oleh Dr. H. Muslim Ibrahim, M.A.
Tim Rancangan
Qanun Baitul Mal dipimpinn oleh Prof. Dr. H. Iskandar Usman, M. A.
Tim telah
menyusun Rancangan Qanun Mahkamah Syar’iyah dalam waktu kurang dari 2 (dua)
bulan, dan setelah melakukan expose dihadapan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
bersama Tim-Tim lainnya, akhirnya Rancangan Qanun tersebut ditetapkan dengan
judul : Rancangan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ”Tentang Peradilan
Syari’at Islam”, yang terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal. Setelah disempurnakan,
Rancangan Qanun diserahkan kepada Gubernur c/q Biro Hukum untuk diteruskan ke
DPRD Nangggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya pada tanggal 19 November 2001
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyampaikan Rancangan Qanun
Peradilan Syari’at Islam tersebut bersama Rancangan Qanun lainya kepada DPRD
Nanggroe Aceh Darussalam.
Sekitar bulan
Maret 2002 Pimpinan Mahkamah Agung RI menugaskan tiga orang Ketua Muda Mahkamah
Agung RI ke Aceh, yaitu :
H. Suharto, SH,
-TUADA DATLIS ;
H. Syamsuhadi,
SH., M. Hum. – TUADA UDILAG ;
H. Toton
Suprapto, SH. TUADA ADAT ;
Meraka ingin
mengetahui lebih jauh bagaimana sebenarnya upaya-upaya yang telah dilakukan
oleh masyarakat Aceh dalam menindaklanjutii amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 untuk pembentukan Mahkamah Syar’iyah (pertemuan dilaksanakan di rumah
Wakil Gubernur : Ir. H. Azwar Abubakar).
Pada kesempatan
lainnya. Untuk menyempurnakan rumusan Rancangan Qanun tentang Peradilan
Syari’at Islam, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh atas bantuan USAID, dan
bekerjasama dengan Forum Keprihatian Rakyat Aceh (FORKA), telah pula
dilaksanakan Semiloka di Jakarta dari tanggal 8 s/d 10 Maret.
Selanjutnya
Rancangan Qanun tersebut juga diberikan kritikan demi penyempurnaan oleh
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Banda Aceh, seperti Yayasan/Ukhuwah dan
PPHIM.
Untuk membahas
Rancangan Qanun yang diajukan Gubernur tersebut, maka DPRD Nanggroe Aceh
Darussalam membentuk beberapa Pansus, antara lain : Pansus XV yang diberi tugas
antara lain, mendalami/membahas Rancangan
Qanun Peradilan Syari’at Islam. Untuk memperoleh informasi yang lebih
lengkap pansus XV dari tanggal 2 s/d 7 September 2002 mengadakan konsultasi
antara lain dengan Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Agama RI, Mahkamah Agung
RI dan beberapa orang anggota DPR-RI asal Aceh (FORBES) di Jakarta.
Selanjutnya
pada tanggal 23 oktober 2002, Tim Pemerintah Daerah Aceh yang dipimpin oleh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. H. Abdullah Puteh, M. Si., mengadakan
rapat konsultasi dangan Mahkamah Agung RI dan departemen terkait. Rapat
konsultasi berlangsung di Aula Mahkamah Agung RI dipimpin langsung Ketua
Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, dengan didampingi oleh wakil
Ketua Drs. H. Taufiq, SH dalam pertemuan tersebut telah disepakati beberapa hal
:
Mahkamah Agung
berharap agar Mahkamah Syar’iyah di Aceh segera terwujud dan dapat diresmikan
pada tanggal 1 Muharram 1424 H;
Pembentukan
Mahkamah Syar’iyah adalah tugas eksekutif, karena itu diharapkan Menteri Dalan
Negeri dapat mengkoordinir pertemuan-pertemuan dengan Departemen terkait dan
Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
Menindaklanjuti
hasil pertemuan tersebut tanggal 23 Oktober 2002, Tim Pemerintah Pusat yang
dikoordinir Departemen Dalam Negeri mengadakan pertemuan dengan Tim Pemerintah
Daerah Aceh pada tanggal 27 Januari 2003. rapat tersebut dipimpin langsung oleh
Sekjen Departemen Dalam Negeri yaitu Dr. Ir. Siti Nurbaya.
Pada pertemuan
tersebut, Tim dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari Departemen/Lembaga
terkait, seperti Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian RI,
Kejaksaan Agung RI, Pertahanan dan Keamanan dll., telah berhasil merumuskan
beberapa kesepakatan, antara lain :
Peresmian
Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan di Banda Aceh pada hari Selasa, tanggal 1
Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M;
Masing-masing
Departemen/Lembaga mempersiapkan diri sesuai dengan bidang kewenangannya untuk
peresmian Mahkamah Syar’iyah (Kelembagaanm Kewenagan, pembinaan sumber daya
manusia, dll).
menjelang hari
H (4 Maret 2003) perlu adanya pertemuan lagi, yaitu :
Tanggal 5 s/d 8
Februari 2003 Konsinyering Tim Pusat ;
Tanggal 17
Februari 2003 Koordinasi Tim Pust dengan Daerah ;
Tanggal 27 s/d
28 Februari 2003 Cheking terakhir ;
Pada hari senin
24 Februari 2003, Tim Pusat dan Daerah kembali melanjutkan koordinasi di
Jakarta (Depatemen Dalam Negeri). Tim Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota : Husni Bahri Tob, SH
(Assisten I), H. Abdussalam Poroh (Sekretaris DPRD), Prof, Dr. Alyasa’
Abubakar, MA (Kadis Syari’at Islam), Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH (Ketua PTA
Banda Aceh), A. Hamid Zein, SH (Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam). Dalam pertemuan tersebut dibahas beberapa masalah substansi antara
lain :
Rancangan
Kepres tentang Mahkamah Syar’iyah (perubahan Nama, Kewenangan, dll) akhirnya
menjadi Kepres Nomor 11 Tahun 2003 ;
Rancangan Peraturan
Pemeritah tentang pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam (sayang RPP tersebut tidak sempat dibahas karena sempitnya waktu);
Beberapa
masalah teknis untuk acara peresmian, (prasasti, peresmian Mahkamah Syar’iyah,
Pelantikan Ketua, sambutan dll).
Pelaksanaan
Peresmian Mahkamah Syar’iyah
Sesuai dengan
rencana semula dan melalui proses persiapan yang panjang akhirnya peresmian
Mahkamah Syar’iyah dapat dilaksanakan dalam suatu upacara yang dilangsungkan
pada tanggal 1 Muharram 1424 H dan bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003.
Sebagai dasar
hukum peresmian Mahkamah Syar’iyah disaat itu adalah Kepres Nomor 11 Tahun
2003, yang pada hari itu dibawa langsung dari Jakarta dan dibacakan dalam
upacara peresmian.
Adapun isi
kepres tersebut antara lain adalah tentang perubahan nama Pengadilan Agama
menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah
Syar’iyah Provinsi, dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara
bertahap.
Upacara
peresmian dilaksanakan di Gedung DPRD Provinsi. NAD yang dihadiri oleh Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi NAD, beserta dihadiri oleh para Menteri dan Tim
Pusat, yaitu :
Ketua Mahkamah
Agung RI, Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH;
Menteri Dalam
Negeri, Dr. (HC) Hari Sabarno, S.Ip, MM., MA ;
Menteri
Kehakiman dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ;
Menteri Agama,
Prof. Dr. Said Agil Husin A-Munawar, MA ;
Direktorat
Jenderal Bimas dan Penyelenggaraan Haji, H. Taufik Kamil ;
Direktur
Pembinaan Peradilan Agama, Drs. H. Wahyu Widiana ;
Wasekjen MARI,
Drs. H. Ahmad Kamil, SH, dll;
Sedangkan dari
Daerah Kabupaten/Kota, hampir semua Bupati/Walikota hadir bersama para Muspida.
Upacara
peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti, masing-msing oleh Menteri
Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Meteri Agama RI.
Bersamaan
dengan upacara peresmian tersebut, dilaksanakan pula pengambilan sumpah dan
pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota dan Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah
pelantikan para Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah se Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam diberi pembekalan dan sosialisasi tentang eksistensi dan
kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
PERESMIAN
OPERASIONAL KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Meskipun telah
diresmikan secara langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI pada tanggal 1 Muharram
1424 H/ 4 Maret 2003, namun Mahkamah Syar’iyah masih menemukan kendala untuk
melaksanakan kewenangannya, khususnya dalam bidang jinayat, dimana kejaksaan
sebagai penuntut umum belum memiliki dasar hukum untuk melakukan penuntutan ke
Mahkamah Syar’iyah, karena dalam melaksanakan tugas fungsionalnya, kejaksaan
berpedoman kepada KUHAP yang antara lain telah mengatur hubungan kerja
Kejaksaan dengan Peradilan Umum dalam penyelesaian perkara pidana. Oleh karena
itu lah Tim Interdep persiapan pembentukan Mahkamah Syar’iyah di pusat dan
daerah mempersiapkan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan
Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Naskah
Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut diparaf oleh 9 anggota Tim dari Lembaga
terkait, dan diteruskan ke Presiden oleh Menteri Dalam Neger (Menko Polkam ad
Interm) dengan suratnya tanggal 19 Februari 2004 Nomor 180/404/SJ.
Pada tanggal 30
Maret 2004 Tim dari Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, masing-masing
Drs. Soufyan M. Saleh, SH. Drs. H. Sayuti Is, MM. Prof. Dr. Alyasa Abubakar,
MA. A. Hamid Zein, SH. Syahrul Ali, SH., MH dan Anwar Efendi, SH. Sesuai dengan
surat penugasan dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (tanggal 27 Maret 2004,
Nomor 019.3/0087) mengadakan audiensi dengan Kepala Biro Hukum Sekretariat
Negara RI yang diterima oleh Bapak Sudibyo, SH (Direktorat Perundang-undangan),
staf Ahli Mendagri dan Kepala Biro Hukum Skretariat Kabinet di Kantor
Sekretariat Kabinet.
Dari audiensi
tersebut dijelaskan, bahwa memang benar usulan draf RPP pelaksanaan Peradilan
Syari’at Islam yang diajukan ke Presiden oleh Mendagri sudah diterima
disekretariat Kabinet. Selanjutnya atas bantuan salah seorang staf Mendagri Tim
audiensi depertemukan langsung dengan Menseskab Prof. Herman Rajagukguk, SH.
Diruang kerjanya, bahwa sehubungan dengan permasalahan tersebut beliau
menjelaskan, bahwa Insya Allah beliau akan mempelajari draf RPP tersebut dan
dalam waktu akan dibahas oleh Tim Tehnis terkait Tim dari Aceh nanti juga akan
diikut sertakan.
Setelah
beberapa bulan menunggu, ternyata belum ada realisasi, Gubernur Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Juni 2004 menyurati kembali dan menanyakan
ke Presiden sejauh mana sudah proses Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut
menjadi Peraturan Pemerintah (Surat Gumbernur selaku PDSD tanggal 28 Mei 2004
Nomor : 330/23F-PDSD/2004).
Untuk itu
Sekretariat Kabinet memberikan tanggapan terhadap usul Rancangan Peraturan
Pemerintah tersebut, yaitu dengan suratnya tanggal 7 Meii 2004 antara lain
disampaikan sebagai berikut :
Tanggal 21
April 2004 telah dilakukan pertemuan di Sekretariat Kabinet yang dihadir oleh
wakil-wakil dari Tim Interdep (Mahkamah Agung, Departemen Agama, Departemen
Dalam Negeri, dll).
Disepakati oleh
Tim Interdep bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak diperlukan
mengingat substansinya telah diatur
dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan termasuk mengenai pelaksanaan
wewenang kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan
penuntutan pada Peradilan Syari’at Islam
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kewenangan
tersebut semakin jelas dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (2) undang-undang
Nomor 14 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi Peradilan
Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
Peradilan Agama, dan merupakan Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Menjawab surat
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 28 Mei 2003, Sekretaris
Kabinet dengan suratnya tanggal 10 Juni 2004 B.53/Waseskab/00/2004 memberikan
penjelasan, yang isinya juga sesuai dengan surat penjelasan yang disampaikan
Menko Bidang Politik dan Keamanan Ad Interm.
Jawaban dari
Sekretariat Kabinet tersebut mementahkan kembali Rancangan Peraturan Pemerintah
yang sudah disusun demikian matang oleh Tim Interdep, sehingga Tim penyembangan
Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kembali mengadakan
rapat konsultasi terutama dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam rapat
yang dipimpin oleh Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si pada tanggal 29 Juli
2004, yang dihadiri oleh anggota Muspida dan Dinas terkait disepakati bahwa
meskipun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak diperlukan oleh Sekretariat Kabinet, namun
Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam tetap memperjuangkan kembali agar
usul Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut agar disahkan menjadi Peraturan
Pemerintah sebagai payung hukum bagi Kepolisian dan Kejaksaan di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sambil
memperjuangkan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam akan mengundang Ketua Mahkamah Agung RI untuk
meresmikan pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam yang sudah diresmikan satu setengah tahun yang lalu, dan peresmian
tersebut direncanakan bersama dengan pembukaan PKA ke IV, yaitu tanggal 19
Agustus 2004.
Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didampingi oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah
Provinsi, Kepala Dinas Syari’at Islam dan Kepala Biro Hukum, pada tanggal 13
dan 16 Agustus 2004 mengadakan kosultasi dan menyampaikan Undangan kepada Ketua
Mahkamah Agung RI Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI menyatakan pada
prinsipnya dapat mengabulkan harapan dan Undangan Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam, tapi tidak pada tanggal 19 Agustus 2004 karena bersamaan dengan
hari ulang tahun Mahkamah Agung RI.
Dalam pertemuan
konsultasi berikutnya atas undangan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
disepakati bahwa peresmian operasional Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan
pada tanggal 11 oktober 2004 hari senin di Banda Aceh, dengan mata acara pokok
antara lain :
- Pembacaan Surat Keputusan Mahkamah
Agung RI
- Pembacaan Surat Keputusan Bersama
Lembaga Penegak Hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.
- Penandatanganan Naskah Peresmian
Operasional Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah Agung
akan mengelurkan SK Ketua Mahkamah Agung tentang pelimpahan sebagaian
kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah. Adapun naskah peresmian
dipersiapkan bersama-sama antara Tim Daerah dengan Tim Pusat.
Alhamdulilah
atas izin Allah SWT pada hari senin tanggal 11 Oktober 2004 acara peresmian
operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan di Anjong Mon Mata, yang
dihadiri oleh Ulama, tokoh Masyarakat, Anggota DPRD tingkat I dan undangan
lainya.
Dari
Kabupaten/Kota hadir sebagian Bupati, Kapolres, Kajati, Ketua Pengadilan
Negeri, Ketua Mahkamah Syar;iyah, Ketua MPU dan Kepala Dinas Syari’at Islam.
Dll.
Dalam acara
tersebut turut memberikan sambutan setelah laporan Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Ketua Tim Interdep pembentukan Mahkamah Syar’iyah diwakili
oleh (Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, SH), wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Kapolri
yang diwakili oleh Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepala Kejaksaan Agung
yang diwakili oleh Kajati Nanggroe Aceh Darussalam, serta bimbingan pengarahan
dan peresmian oleh Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, SH.
Banda Aceh,
Ketua
Mahkamah Syar’iyah Aceh
0 Response to "EKSISTENSI DAN KEWENANGAN"
Post a Comment