HUKUM AGRARIA DAN PERWAKAFAN
PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Dosen
Pembimbing:M. YASIR, M.H. H.

Di susun oleh :
Kelompok II
Adlul alghofiqi (1112044100006)
JURUSAN PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( AHWALUSYAHSIYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Hukum
Agraria dan Perwakafan.
Tujuan
pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas, salah satu nya untuk
membahas masalah-masalah tentang Pengertian dan Perkembangan Hukum Agraria di
Indonesia.
Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Hukum
Agraria dan Perwakafan, Pak M. Yasir, M.H. H, yang telah membimbing kami dengan
tulus ikhlas sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk perbaikan makalah yang lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robbal alamin.
Jakarta, September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
- Latar Belakang............................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
- PENGERTIAN HUKUM AGRARIA...................................... 2
- SUMBER HUKUM AGRARIA............................................... 4
- RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA.............................. 5
- HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
SEBELUM LAHIRNYA
UUPA 7
BAB
III PENUTUP
- Kesimpulan ................................................................................ 12
- Kritik
& Saran............................................................................. 12
DAFTAR
PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Disamping itu, Indonesia
memiliki jumlah penduduk yang banyak sehingga juga membutuhkan sumberdaya alam
yang lebih banyak pula untuk menyambung hidup, perekonomian dan sebagainya.
Banyaknya kebutuhan tersebut akan membuat masyarakat mencari kebutuhannya itu
disekitar wilayah tempat ia menetap ataupun wilayah yang ia kuasai bahkan
terkadang mencari kebutuhannya dengan mengambil hak orang yang menguasai sumber
daya alam tersebut tanpa izin (mencuri).
Negara haruslah
menegakkan hukum yang mengatur tentang sumber daya alam yang terdapat di
wilayah Negara Indonesia ini guna untuk menjaga kemaslahatan negara dan
rakyatnya, seperti hukum mengenai pertanahan, air, dan sebagainya yang
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia maupun warga negara asing.
Hukum Agraria
merupakan suatu hukum yang mengatur sumber daya alam yang berada di wilayah
Indonesia sehingga sumber daya alam baik berupa tanah, air, bahkan ruang
angkasa yang berada dalam wilayah Indonesia dapat dimanfaatkan sesuai dengan
semestinya tanpa adanya sengketa baik antar Warga Negara Indonesia, maupun
antar Warga Negara Idnonesia dan Warga Negara Asing. Dengan adanya Hukum
Agraria ini, negara dapat menjamin sumber daya alamnya yang ia kuasai. Sehingga
sumber daya alam yang ada di wilayah Indonesia ini dapat terpelihara dan tidak
dimanfaatkan dengan sesuka hati oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak atas
sumber daya alam tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Istilah Agraria
berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (bahasa Yunani),
berarti tanah pertanian, Agger (bahasa Latin) berarti tanah atau
sebidang tanah, Agrarius (bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,
pertanian, Agrarian (bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam Black’s
Law Dictionary disebutkan bahwa arti
Agrarian is relating to land, or to a division or distribution of land as an
agrarian laws. Menurut Andi Hamzah, agraria adalah maslah tanah dan semua
yang ada di dalam dan di atasnya. Sedangkan menurut Subekti dan R.
Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam
dan di atasnya.[1]
Menurut Prof.
E. Utreacht, S.H., beliau mengatakan bahwa: Hukum Agraria (hukum tanah)
adalah menjadi bagian hukum administrasi negara, yang mengkaji
hubungan-hubungan hukum, terutama yang akan memungkinkan para pejabat yang
bertugas mengurus soal-soal Agraria. Bagi negara kita, Republik Indonesia, yang
masih bercorak negara Agraria, penting sekali hal-hal yang bersifat agraris
diurus secara baik. Dengan demikian hukum Agraria menurut Prof. E. Utreacht
merupakan bagian hukum administrasi.[2]
1. Pengertian Hukum Agraria dalam Arti Luas
Sesuai dengan
Pasal 2 (1), UUPA, maka sasaran hukum Agraria, meliputi: Bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Karenanya
pengertian hukum Agraria dalam arti luas, merupakan suatu kelompok berbagai
hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan atas Sumber-Sumber Alam Indonesia yang
meliputi:[3]
1. Hukum
Pertanahan
Yaitu bidang
hukum yang mengatur hak-hak Pengaturan atas Tanah
Dasar Hukum: UU
No.5/1960.
2. Hukum
Pengairan
Yaitu bidang
hukum yang mengatur hak-hak atas air.
Dasar hukum: UU
No:11/1974
3. Hukum Pertambangan
Yaitu bidang
hukum yang mengatur hak penguasaan atas bahan galian.
Dasar Hukum: UU
No.15/1967.
4. Hukum
Kehutanan
Yaitu bidang
hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan.
Dasar Hukum: UU
No.5/1967.
5. Hukum
Perikanan
Yaitu bidang
hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas ikan dan lain-lain dan perairan
darat lain.
2. Pengertia Hukum Agraria dalam Arti Sempit
Hukum Agraria
dalam arti sempit hanyalah mencakup Hukum Pertanahan, yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan
tanah disini sesuai dengan Pasal 4 (1) adalah Permukaan tanah, yang dalam
pengguanaannya menurut Pasal 4 (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa,
yang ada di atasnya, sekedar dipelukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas menurut Undang-Undang Pokok
Agraria, dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.[4]
Sedangkan yang
dimaksud dengan hak penguasaan adalah hak-hak yang memberi wewenang kepada
pemegang hak yang bersangkutan untuk berbuat semata dengan tanah yang dikuasai. Perlu diangkat di sini bahwa lazimnya di
Indonesia hukum Agraria dipakai untuk sebutan hukum positif yang mengatur hak
penguasaan atas tanah yang dalam buku ini disebut hukum pertanahan atau sering
disebut hukum tanah sesuai dengan Pasal 1 (2) UUPA adalah sebagai karunia
Tuhan, dan karenya sesuai dengan Pasal 2 UUPA, tanah tersebut dikuasai oleh
Negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.[5]
B. SUMBER HUKUM AGRARIA
1. Suber Hukum Tertulis
a)
Undang-Undang Dasar 1945, Khusunya dalam Pasal 33 (3) ditentukan: “Bumi, air
dan kekayaan alam alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”. dari Pasal 33 (3) UUD
1945 memuat dua hal:
1. Politik
Agraria
2. Kaidah Hukum
Agraria
b)
Undang-Undang Pokok Agraria.
Undang-Undang
Pokok Agraria ini dimuat dalam UU No.5/1960 tertanggal 24 September 1960,
diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-104, dan Penjelasannya
dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.
c)
peraturan-peraturan:
a. Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria.
b. Peraturan
yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktek.
d) Peraturan
Lama, tetapi dengan syarat tertentu bedasarkan peraturan/ Pasal Peralihan,
masih berlaku..
Pasal Peralihan
dimaksud adalah Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58.[6]
2. Sumber Hukum Tidak Tertulis
a) Kebiasaan
baru yang timbul setelah berlakunya Undang-Undang Poko Agraria, misalnya:
1.
Yurispredentie
2. Praktek
Agraria
b) Hukum adat
yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan. [7]
hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa:
a.
hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
b.
berdasarkan atas persatuan bangsa.
c.
berdasarkan
atas sosialisme indonesia
d.
peraturan-peraturan
yang tercantum dalam UU dan dengan Perundangan lainnya
e.
segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
C. RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA
Dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,
LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No.2043, disahkan Tanggal 24 September 1960, yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan
pengertian agraria hanay memberikan ruang lingkup agraria sebagai mana yang
tercantum dalam konsideran, Pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup
agraria menurut UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang
terkandung di dalamnya (BARAKA).[8]
Ruang lingkup
agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumberdaya agraria atau sumber
daya alam menurut ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria
dan pengelolaan Sumber Daya Alam.[9]
Ruang lingkup
agraria/ sumber daya agraria/ sumber daya alam dapat djelaskan sebagai berikut:[10]
1. Bumi
Pengertian Bumi
menurut Pasal 1 (4) UUPA adalah permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 (1)
UUPA adalah Tanah.
2. Air
Pengertian air
menurut Pasal 1 (5) adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air
yang berada di laut eilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No.11 Tahun
1974 tentang pengairan, disebutkna bahwa pengertian air meliputi air yang
terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat
di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang
terdapat di laut.
3. Ruang Angkasa
Pengertian ruang
angkasa menurut Pasal 1 (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia
dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal
48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-usur yang
dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan
bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain
yang bersangkutan dnegan itu.
4. Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan alam yang
terkandung di dlama bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia
mineral-mineral, bijih-bijih, dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan
mulia yang merupakan endapat-endapan alam (UU No. 11/1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan). Kekayaan a;am yang terkandung dalam
air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada dalam perairan pedalaman
dan laut wilayah Indonesia (UU No.9/1985 tentang perikanan).
Ruang lingkup
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Ruang daratan adalah
ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk permukaan
perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah
ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dan dimulai dari sisi
laut garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimana
Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Ruang udara adalah ruang yang
terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan
melekat pda bumi, di mana Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Pengertian
ruang udara (airspace) tidak sama dengan pengertian ruang angkasa (outerspace).
Ruang angkasa beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit lainnya
adalah bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.
D.
PERKEMBANGAN,
SISTEM DAN KONDISI HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UUPA
1.
Sejarah
Pengaturan Hak atas Tanah di Indonesia
Sejarah
pengaturan hak atas tanah di indonesia akan dimulai dari tonggak sejarah pada
tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi pikiran Reffles dengan teori
domeinnya. Namun untuk lebih lengkapnya akan diuraikan secara rinci dibawah
ini.
A.
Tahun
1811
Pada zaman ini,
pengusaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat untuk menarik pajak
bumi demi kepentingan pemerintahan jajahan Belanda. Setelah pemerintahan
belanda menguasai pertanahan di Indonesia selanjutnya digantikan oleh
pemerintahan jajahan Inggris, administrasi pertanahan mulai ditata. Salah
seorang penggagas perbaikan administrasi pertanahan adalah Reffles. Tujuan
Reffles menata sistem administrasi pertanahan yaitu ingin menerapkan sistem
penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan Inggris di India. Di India,
pemerintah kolonial Inggris menarik pajak bumi melalui sistem pengelolaan
agraria yang sebenarnya merupakan warisan dari sistem pemerintahan kekaisaran
Mughal (1526-1707).
Setelah Inggris
benar-benar menguasai Indonesia, maka dengan berbekal pengalaman di India
tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara penuh pengalaman di India
tersebut,sehingga pada tahun 1811 Raffles membentuk panitia penyelidikan yang
diketuai oleh Mackenzie dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai
keadaan agraria. Berdasarkan hasil penyelidikan, Raffles menarik kesimpulan
bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan pegangan ini,
dibuatlah sistem penarikan pajak bumi ( yang dikenal dengan istilah Belanda Landrente) sistem ini mewajibkan setiap
petani membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori Raffles
ternyata mempengaruhi politik agraria selama sebagian besar abad ke-19.
B.
Tahun
1830
Tonggak sejarah
perkembbangan hukum agraria, khusunya pengaturan hak atas tanah pada zaman ini,
ditandai dengan kembalinya Indonesia kepada tangan jajahan Belanda yang kurang
lebih 19 tahun berada di tangan Inggris. Pada tahun 1830 pemerintah Belanda di
Indonesia dipimpin oleh Gubernur Jendral Van Den Bosh yang mempopulerkan sebuah
konsep penguasaan tanah cultuurstelsel atau
yang lazim disebut sistem Tanah Paksa. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari
diadakannya sistim tanam paksa ini adalah untuk menolong negeri Belanda yang
keuangannya dalamkeadaan buruk.
Van Den Bosh
dalam menjalankan sistem tanam paksa ini, tetap mengacu kepada teori yang
dilakukan oleh Raffles sebelumnya, yaitu tanah adalah milik pemerintah, para
kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan selanjutnya kepala desa
meminjamkan kepada petani. Atasdasarini, isi pokok cultuurstelsel adalah bahwa pemilik tanah tidak usah lagi membayar
2/5 dari hasil, tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu
yang dikehendaki oleh pemerintah seperti kopi dan lain-lain, kemudian harus
diserahkan kepada pemerintah (untuk exspor ke Eropa). Hasil politik tanam paksa
ini ternyata demikian melimpahnya bagi pemerintah Belanda sehingga menimbulkan
iri hati bagi kaum pemilik modal swasta.
C.
Tahun
1848
Dalam tahun 1830
diatas telah dijelaskan mengenai monopolinya pemerintahan jajahan Belanda atas
tanah dan hasil dariperkebunannya sehingga menimbulkan kecemburuan dari kaum
pemilik modal dari aliran liberal yang ada diparlemen. Wakil-wakil dalam
parlemen menuntut agar bisa turut campur dalam tanah jajahan yang sampai saat
itu hanya dipegang oleh raja dan menteri tanah jajahan. Terjadilah pergolakan
antara mereka dengan golongan konservatif pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan dalam
memperjuangkan tuntutan tersebut, kaum liberal memetik kemenangan pertama
dengan disetujui perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Belanda. Yaitu dengan
adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintah di tanah jajahan
harus diatur dengan Undang-Undang.
Undang-Undang
yang dimaksud dalam perubahan Undang-Undang Belanda tersebut selesai pada tahun
1854, yaitu dengan dikeluarkanya regerings
reglement(RR) 1845. Salah satu ayat dari pasal 62 RR menyebutkan bahwa
Gurbernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan
ditetapkan dengan ardonansi. Tujuan utama gerakan kaum liberal dibidang agraria
itu adala (1) agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah
oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom),
untuk memungkinkan perjualan dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawah hak
komunal ataupun kekuasaan adat tidak dapat dijual atau disewakan keluar, dan
(2) agar dengan asas domein itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada
penguasa swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah ( yaitu erpacht).
D.
Tahun
1870\
Jatuhnya Mentri
Jajahan Frans Van de Putte, karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak
eigendom kepada pribumi. Adapun seluk
beluk agraria di Indonesia belum diketahui benar-benar.
E.
Kelima
1960
Pemerintah
menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-undangan dibidang agraria yang
dibuat oleh pemerintah jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak
berpihak kepada rakyat Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak 1948
dengan dibentuknya agraria panitia agraria. Setelah 15 tahun merdeka melalui
proses yang panjang barulah lahir UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
1)
Panitia Yogya 1948
Panitia Yogya
diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo dengan tugas yang diemban oleh panitia ini
adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai kepada usulan-usulan
dalam rangka menyusun hukum agraria baru pengganti hukum kolonial yang berlaku
diindonesia sejak 1870.
Dalam hal ini
mengemukan bebraapa poin yaitu:
a.
“...hukum baru itu harus dipahami dan
diterima oleh rakyat, bukan itu saja, hukum baru itu harus dapat menggerakkan
jiwa rakyat.”
b.
Para pembentk undang-undang perlu sekali
menginfasi hidup jiwa rakyat yang sebenarnya.
c.
“para pembentuk undang-undang bukanlah
himpunan dewa-dewa...”sekalipun orang-orang terpilih; mereka adalah orang
biasa. Karena itu activiteit dari
rakyat harus ada. Rakyat sendiri harus menunjukkan kemauannya.”
d.
“gerakan rakyat itulah syarat mutlak
bagi pelaksanaan hukum tanah yang baru nanti.”
2)
Panitia Jakarta 1951
Panitia agraria
Jakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, selain mengembangkan gagasan
panitia Yogya, panitia Jakarta juga menghasilkan usulan-usulan baru. Gagasan
yang diusulkan oleh panitia Jakarta yang penting diantaranya: a. Dianggap perlu
untuk adanya penetapan batas luas maksimum dan batas minimum; b. Yang dapat
memiliki tanah untuk usaha tanah kecil hanya WNI; c. Pengakuan hak rakyat atas
kuasa undang-undang.
3)
Panitia Soewahjo 1956
Mandat utama yag
diemban oleh panitia ini adalah menyusun secara kongkret RUU Agraria Nasional,
setelah sebelumnya terdapat berbagai masukan dari panitia sebelumnya. Dasar
acuannya addalah pasal 26, 37, dan 38 dari Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS
1950). Namun pada tahun 1957 panitia ini berhasil menyusun RUU, yang memuat
antara lain butir-butir penting berikut ini: a. Asas domein dihapuskan diganti
dengan asas “hak menguasai oleh negara”,
sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat (3) UUDS; b. Asas bahwa tanah
pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi rancangan
ini belum sempat disampaikan kepada DPR.
4)
Panitia Soenario 1956
Keberadaan
panitia ini sebenarnya hanya meneruskan hasil kerja panitia sebelumnya. Pada
tanggal 24 April 1958 pemerintah menyampaikan naskah RUUPA yang dikenal dengan
rancangan Soenario kepada DPR.
5)
Rancangan Sadjarwo
Sadjarwo sebagai
panitia yang dibentuk setelah menggantikan panitia yang dipimpin oleh Soenario,
meneruskan kembali kerja sama antara Departemen Agraria, Panitia ad hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada,
akhirnya berhasil mencapai kesepakatan dan menyusun naskah baru pada tahun
1959, yang dijadikan dasar oleh Departemen Agraria untuk menysusun RUU baru.
Tepat pada tanggal 1 Agustus 1960 secara resmi dismpaikan kepada DPR-GR (setelah
direkrut 5 Juli 1959, DPR sementara diberi nama Gotong Royong). Dengan melalui
pembahasan yang kurang dari satu bulan, maka RUU ini akhirnya diterima dan
disahkan oleh DPR-GR, dan diundangkan tepat tanggal 24 September 1960, sebagai
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kehadiran UU
ini merupakan suatu penantian yang panjang dari bangsa Indonesia akan adanya
hukum agraria yang meruapakan buatan dari bangsa sendiri. [11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Agraria memiliki arti yang sempit
dan luas, Hukum Agraria dalam arti luas adalah suatu kelompok pelbagai hukum
yang mengatur Hak-Hak penguasaan atas Sumber-Sumber Alam Indonesia yang
meliputi:
1.
Hukum Pertanahan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Pengaturan atas
tanah. Dasar Hukumnya UU No. 5 Tahun 1960.
2.
Hukum Pengairan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak atas air. Dasar
hukumnya UU No. 11 Tahun 1974.
3.
Hukum Pertambangan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak penguasaan
atas bahan galian. Dasar hukumnya UU No. 15 Tahun 1967
4.
Hukum Kehutanan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan atas
Hutan dan Hasil Hutan.
5.
Hukum Perikanan yaitu bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasan atas
ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.
Sedangkan Hukum Agraria dalam arti sempit
yaitu Hukum Agraria yang hanyalah mencakup Hukum Pertanahan yaitu Bidang Hukum yang mengatur Hak-Hak
Penguasaan atas tanah.
Sedangkan sejarah mengenai penguasaan
atas tanah di Indonesia dimulai pada tahun 1811 yang mana pada waktu itu
Indonesia dipengaruhi oleh pikiran Reffles dengan teori domeinnya. Dan
perkembangannya pun berlanjut sampai tahun 1960, yaitu setelah 15 tahun merdeka
barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dan proses terbentuknya UU No. 5 Thaun 1960 ini pun melalui proses yang panjang
yaitu dimulai dari panitia Yogya 1948 sampai pada rancangan Soedjarwo tahun
1960.
B. Kritik & Saran
Demikianlah makalah ini kami buat semaksimal pengetahuan kami dan
informasi yang kami dapat. Kami menyadari masih banyak kekurangan, untuk itu
kami mohon kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini agar lebih
bermanfaat dan sebagai bahan pembelajaran kedepannya. Amin ya rabbal ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Chomzah, Ali. Hukum Agraria ( Pertahanan Indonesia), Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2004
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2010
Supriadi. Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
[1] Urip Santoso, Hukum
Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal.1.
[2] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 1, jilid 1.
[3] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 4, jilid 1.
[4] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 4, jilid 1.
[5] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 5, jilid 1.
[6] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 7, jilid 1.
[7] Ali Achmad
Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 9, jilid 1.
[8] Urip Santoso, Hukum
Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal.2.
[9] Urip Santoso, Hukum
Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal.2.
[10] Urip Santoso, Hukum
Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal.3.
[11]
Supriadi, Hukum Agraria, hal. 47
0 Response to "Pengertian dan Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia"
Post a Comment