AHLUSSUNNAH WAL JAMAÁH
Term ahli Sunah dan Jamaáh ini
kelihatannya tiimbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazila dan
terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran tersebut. Kaum Mu’tazilah tidak
begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak
percaya kepada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan
keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi ini. Oleh karena itu
mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh kepada
sunnah.
Mungkin inilah yang menimbulkan term
ahli Sunnah dan Jamaáh, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi
merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat
minoritas dan tak berpegang pada sunnah.
Maka sunah dalam term ini berarti
Hadis. Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr
al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘amma al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-Jama’ah
al-katsir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai). Namun
bagaimanapun yang dimaksud dengan Ahli Sunnnah dan Jama’ah di dalma lapangan
teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
Pendapat-pendapat
al-Asy’ari yang berlainan dengan paham Mu’tazilah:
1.
Tuhan mempunyai
sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan
demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan
bukan pengetahuan tetapi Yang Mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti
sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2.
Tuhan dapat
dilihat di akhirat. Sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptaknnya Tuhan.
3.
Perbuatan-perbuatan
manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan.
4.
Yang
menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup membuat iman
bersifat tidak berat dan sulit, tetapi tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhan
memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit.
5.
Mengenai
anthropomorphisme: Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan
tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai
bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
6.
Tuhan berkuasa
mutlak dan tidak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Paham ini menentang
pemahaman Mu’tazilah mengenai al-wa’d wa al-wa’id.
7.
Orang yang
berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar
yang dilakkannya ia menjadi fasiq. Sebagai penentang paham al-manzilatu
baina al-manzilatain yang diajarkan oleh kaum Mu’tazilah.
Pendapat al-Baqillani yang tidak sepaham dengan pendapat
al-Asy’ari:
1.
Mengenai sifat
Tuhan, menurutnya itu adalah hal.
2.
Mengenai
perbuatan manusia, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya.
Pendapat
al-Juwaini:
1.
Tangan Tuhan
harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mataTuhan diartikan
Pengllihatan Tuhan dan sebagainya.
2.
Mengenai
perbuatan manusia. Daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek. Tetapi
efeknya serpa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab.
Pendapat
Abu Hamid Al-Ghazali:
1.
Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai
wujud di luar zat.
2.
Al-Qur’an
bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3.
Mengenai
perbuatan manusia. Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk
berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
4.
Tuhan dapat
dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.
5.
Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan manusia, tidak wajib memberi upah dan
ganjaran pada manusia atas perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang
tak dapat dipikul kepada manusia.
6.
Tuhan berkuasa
mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya, atau
memberi ampun kepada semua orang kafir dan menghukum semua orang mukmin.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
pendapat Al-Ghazali yang merupakan orang berpengaruh besar pada umat Islam yang
beraliran Ahli Sunnah dan Jama’ah ini boleh dikatakan tidak berbeda dengan
pahan al-Asy’ari.
0 Response to "Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah"
Post a Comment