Perkawinan Jarak Jauh Melalui Media Sosial | Tugas Kuliah

Perkawinan Jarak Jauh Melalui Media Sosial

MAKALAH MASAIL FIQHIYYAH
Perkawinan Jarak Jauh Melali Media Sosial

Dosen pembimbing : Dr. H. Thalabi Kharli
Disusun Oleh:
ADLUL ALGHOFIQI                       (1112044100006)

JURUSAN PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (SAS)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tahun Akademik 2013/2014

 

 

KATA PENGANTAR


Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah memberikan kita semua nikmatnya. Berkat nikmat-nikmat yang telah Allah berikan tersebut kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Masail Fiqhiyyah yang berjudul Perkawinan Jarak Jauh Melalui Media Sosial ini.
Shalawat dan salam kami kirimkan kepada pemimpin umat yaitu Nabi Muhammad SAW. yang telah mengubah tata kehidupan manusia dari zaman yang tidak beradab menuju zaman yang beradab dan melimpah dengan ilmu pengetahuan.
Selanjtnya kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Mata Kuliah Masail Fiqhiyah, Bapak Dr. H. Thalabi Kharli, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk membuat makalah yang membahas tentang Pernikahan Jarak Jauh Melalui Media Sosial. Selanjutnya kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait yang telah memberikan sumbangsihnya dalam pembuatan makalah ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih kami.
Kami sadar dalam penyajian makalah ini terdapat kekurangan dan atau kekeliruan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari saudara/i guna mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar.                                                                                                                                                                                                                                                                 Ciputat, 4 desember 2014
                                                                       
                Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang.................................................................................................
PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
1.    Mempelai laki-laki/ calon suami.................................................................... 2
2.    Mempelai wanita/ calon isteri........................................................................ 2
3.    Wali nikah..................................................................................................... 3
4.    Dua orang saksi............................................................................................. 4
5.    Ijab dan qabul................................................................................................ 5
PENUTUP................................................................................................................ 8
A.    Kesimpulan................................................................................................... 8
B.    Kritik dan saran............................................................................................. 8
DARTAR PUSTAKA............................................................................................... 9


 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa perkembangan zaman telah membawa kita masuk ke dalam dunia modern. Secara otomatis, kehidupan manusia yang telah masuk ke dalam dunia modern yang dipenuhi dengan berbagai macam teknologi yang membantu manusia dalam menyelesaikan rutinitas kehidupannya.
Dengan perkembangan teknologi ini akan memberikan dampak baru dalam persoalan fiqh. Timbulnya berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat yang timbul akibat dari dampak perkembangan ini memberikan tantangan kepada umat Islam untuk dapat menjawab persoalan tersebut agar tidak terjadi penyimpangan dalam kehidupan masyarakat di era modrenisasi ini.
Salah satu dari akibat adanya perkembangan teknologi adalah terjadinya pernikahan jarak jauh dengan menggunakan alat-alat teknologi yang bisa menyambungkan satu pihak ke pihak yang lain sehingga dapat terjadi komunikasi yang saling bersahut antara satu dengan yang lainnya.
Dalam makalah ini akan dibahas dan di ulas pemecahan permasalahan pernikahan jarak jauh ini dengan bertolak dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pendapat para ulama.




BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Aqad Nikah Via Telepon

            Sebagian fuqaha dalam mengemukakan hakikat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat dari sahnya sebuah perkawinan hanya terbatas pada timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara seorang laki-laki dengen perempuan.[1]
            Konstatasi seperti di atas muncul dari pengertian yang dapat disimak dari defenisi nikah yang merkea susun. Fuqaha para pengikut imam yang empat (Syafií, Maliki, Hanbali dan Hanifah) umumnya mendefenisikan nikah sebagai áqd yang membawa kebolehan bagi seorang laki-laki (suami) untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan (isteri). Salah satu hal yang dapat ditangkap dari rumusan ini ialah hakikat perkawinan (pernikahan) tidak lain dari institusi yang diletakkan oleh Syarí guna menyalurkan tabiat kemanusiaan yang memiliki syahwat atau nafsu birahi, secara sah. Berkaitan dengan hal ini, sebagaimana dimaklumi, perhubungan badan sebelum aqad nikah adalah perubuatan zina yang diharamkan. Dengan terlaksananya aqad nikah, maka perhubungan yang sebelumnya dilarang itu, berubah menjadi boleh dan halal. Bersesuaian dnegan ini, Allah SWT berfirman[2]:
... £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 ...
...Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka... (QS. Al-Baqarah (2):187).
            Dari gambaran di atas dapatlah dimengerti mengapa para fuqaha menyusun defenisi seperti di atas walaupun kelihatan agak dengkal, akan tetapi justru menunjukkan betapa pentingnya kedudukan aqad nikah ditinjau dari sudut tabiat manusia. Dengan terlaksananya aqad nikah, yang haram menjadi halal. Karena itu, jika tabiat kemanusiaan telah sampai pada tingkat mendesak, satu-satunya jalan yang benar untuk ditempuh adalah melaksanakan pernikahan agar seseorang jangan sampai terjerumus melakukan perbuatan zina. Barangkali, antara inilah Rasulullah SAW bersanda[3]:
يا معشر الشباب من استطاع منكم تاباءة فاليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج, و من لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
            “Hai para pemuda, bararng siapa di antara kamu telah sanggup berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin itu lebih merundukkan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan). Dan barang siapa belum sanggup maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu melemahkan syahwat.” (H.R. Bukhari Muslim).
Walaupun dalam hadis tadi disebutkan bahwa remaja tidak mampun melaksanakan perkawinan hendaklah ia berpuasa supaya dapat mengendalikan nadsu syahwatnya. Akan tetapi sudah barang tentu yang bersangkutan sendiri akan sulit melakukan puasa terus menerus. Oleh karena itu, barangkali puasa yang dianjurkan oleh Nabi merupakan penangkal sementara. Dalam hadis lain Nabi sendiri tidak membernarkan orang melakukan puasa berkepanjangan dan tetap membujang.[4]
            Dapat disipulkan bahwa menurut Islam orang yang sudah pantas dan mampu melaksanakan perkawinan, hendaklah ia menikah dan dinikahkan. Perkawinan adalah wadah bagi seorang muslim untuk menepati fitrah dan tabiat basyariahnya. Dari sini mulai tersingkaplah arti penting dari perkawinan itu.  Akan tetapi jika pemahaman kita tentang seluk belk perkawinan lebih diperluas lagi, sebenarnya proyeksi seperti di atas belumlah menggambarkan secara utuh akan hakikat perkawinan menurut ajaran Islam.[5]
            Dalam pemahaman dan penghayatan seperti itulah tampaknya Abu Zahrah menyusun ta’rif nikah atau perkawinan sebagai ‘aqd yang menimbulkan halalnya perhubungan raga antara seorang laki-laki seorang perempuan, tolong-menolong antara keduanya dan menyatukan hak-hak dan kewajiban keduanya ditambahkah bahwa yang diaksud dengan hak dan kewajiban disini ialah menurut ketentuan yang tlah digariskan oleh Syar’i.ketentuan itu sendiri tidak boleh dikalahkan oleh perjanjian-perjanjian lain yang dibuat oleh pasangan yang melaksanakna ‘aqd. Itulah sebabnya kata Abu Zahrah, bangsa-bangsa di dunia umumnya meletakkan hal-ihwal yang bersnagkut paut dengan perkawinan itu, di bawah hukum agam agar efek keagamaan dari pelaksanaan perkawinan itu secara praktis akan membekas. Dengan kata lain kemauan seseorang untuk menikah dengan pelaksanaan ‘aqd yang sesuai dengan hukum agama pada hakikatnya adalah juga kemauan untuk menundukkan diri di hadapan hukum agama.[6]
            Sah atau tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada ‘aqdnya. Karena sedemikian rupa pentingnya ‘aqd dalam perkawinan itu, maka berdasarkan dalil yang ditemui, para fuqaha telah berijtihad syarat-syarat dan rukun untuk sahnya suatu ‘aqd nikah. Salah satu dari rukun ‘adq perkawinan yang telah disepakati ialah ijab dan qabul. Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami. Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan qabul ini, atas pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan baru; sahkah ‘aqd nikah yang ijab dan qabulnya dilaksanakan melalui telepon? Bahkan masalah ini bukan baru terbatas pada pertanyaan melainkan telah muncul sebagai kasus yang telah terjadi dan dilakukan oleh Warga Negara Indonesia yang beragama Islam.[7]
Rukun perkawinan, untuk melaksanakan rukun perkawinan harus ada beberapa komponen, yakni:[8]
1.      Mempelai laki-laki/ calon suami;
Syarat calon suami[9]
a.       Bukan mahean dari calon isteri;
b.      Tidak terpaksa/ atas kemauan sendiri;
c.       Orangnya tertentu/ jelas orangnya;
d.      Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji.
Dalam Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan juga bahwa calon suami menimum berusia 19 tahun.
2.      Mempelai wanita/ calon isteri;[10]
Syarat calon isteri[11]
a.       Tidak ada halangan hukum, yakni:
                                                              i.      Tidak bersuami;
                                                            ii.      Bukan mahram;
                                                          iii.      Tidak sedang dalam idah;
b.      Merdeka atas kemauan sendiri, dalam Pasal 16 KHI disebutkan bentik persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Bila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (Pasal 17 (2) KHI)
c.       Jelas orangnya;
d.      Tidak sedang berihram haji;
e.       Pasal 6 1/74 + 15 KHI.

3.      Wali nikah;[12]
Syarat wali[13]
a.       Laki-laki;
b.      Baligh;
c.       Waras akalnya;
d.      Tidak dipaksa;
e.       Adil;
f.       Tidak sedang ihram haji.

4.      Dua orang saksi;[14]
Syarat saksi-saksi[15]
a.    Laki-laki;
b.        Baligh;
c.     Waras akalnya;
d.    Dapat mendengar dan melihat;
e.     Bebas, tidak dipaksa;
f.     Tidak sedang mengerjakan ihram haji;
g.    Memahami ... yang dipergunakan untuk ijab qabul

q.      Ijab qabul[16]
Syarat ijab dan qabul[17]
a.       Dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi);
b.      Singkat hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukkan waktu yang akan datang.
            Dari rukun-rukun dan syarat-syarat di atas, tidak ada yang mengungkapkan terjadinya pertemuan secara langsung atau pertemuan fisik dalam proses akad nikah tersebut.

B.     Makna Ijab-Qabul Dan Peranan Syahadah

            Al-Jazairi menyimpulkan bahwa rukun nikah ada dua. Pertama, al-ijab, yaitu lafazh yang muncul dari wali atau orang lain yang menempati keduduka wali. Kedua, al-qabul, yaitu shighat atau lafazh yang muncul dari calon suami atau orang lain yang menempati kedudukannya. Dengan ini, dapatlah diketahui bahwa esensi ‘aqd nikah terdiri atas tiga faktor: al-ijab, al-qabul dan ikatan yang timbul atas akibat terlaksananya al-ijab, al-qabul tersebut. Adapun yang dimaksud dengan orang lain yang menempati kedudukan wali atau kedudukan suami seperti tersebut di atat adalah wakil,  dalam keadaan jika keduanya atau salah sat mewakilkan atau diwakili orang lain.[18]
            Para fuqaha sepakat antara ijab dengan qabul haruslah bersambung, kecuali Imam Malik. Tampaknya yang dimaksud dengan bersambung dalam ijab dan qabul itu adalah masih berkait, tidak keluar dari konteks yang sedang dihadapi. Artinya, antara ijab dan qabul itu diyakini melahirkan ikatan. Oleh karenanya selama semua yang terlibat dalam áqd itu masih meyakini munculnya oleh ijab dan qabul itu, waluapun tidak benar-benar bersambung antara shighat ijan dan shighat  qabul, maka masih tetap sah. Kecuali kalau memang telah diselingi oleh pekerjaan lain yang menyimpang dari konteks, baik sengaja dilakukan atau terpaksa karena pengaruh luar, harus diulangi. [19]              
Dalam kenyataan dapat dialami langsung oleh siapa saja walaupun oleh orang yang tidak mengerti seluk-beluk teknologi telepon, bahwa telepon dapat menyampaikan suara dari jarak jauh. Suara yang disampaikan melalui telepon itu bisa terdengar persis sebagaimana dari sumbernya. Baik sumber itu langsung orang atau rekaman kaset. Bahkan walaupun pada jarak jauh telepon dapat mengirimkan suara itu dengan cepat, sebanding dengan kecepatan suara ketika dua orang berbicara dengan berhadap-hadapan langsung dalam satu tempat. Demikian pula halnya walaupun melalui mediator, mic dan loadspeaker umpamanya, agar suara yang muncul bertambah keras sehingga bisa didengar oleh orang banyak, telepon tetap dapat menyampaikan suara dari sumbernya secara persisi terutama tekanan fokalnya.[20]
Dengan kata lain, manipulasi suara dalam telepon hanya mungkin terjadi melalui sumber yang berupa rekaman, baik rekapan piring hitam, tape recorder, maupun vidio kaset. Selama dapat diketahui bahwa suara dalam telepon benar-benar bersumber dari orang yang sedang bicara langsung, maka tidaklah perlu diragukan akan terjadi penyamaran.[21]
Untuk mengetahui dari siapa suara dalam telepon sudah barang tentu pertama, antara dua pihak yang terlibat dalam pembicaraan terlebih dahulu harus saling mengenal sebelumnya. Kedua, apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks atau tidaknya pembicaraan antar kedua belah pihak untuk membuktikan bahwa apakah suara itu reaksi langsung atau bukan. Kalau yang terakhir ini sudah terbukti, maka hakikat pembicaraan sama dengan berhadap-hadapan tanpa berhadapan secara fisik.[22]
Dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapatlah diambil penegasan sementara bahwa ijab dan qabul dalam áqd nikah dapat dilakukan melauli telepon karena telepon kenyataannya tidak menghalangi terjadinya dioalog langsung antara pihak-pihak yang berbicara sebagaimana yang dilakukan dalam ijab qabul dalam satu majelis. Dengan memakai alat pengeras suara, suara dalam telepon akan dapat didengar oleh orang sekitarnya -dalam áqd nikah para saksi akan dapat mendengarkan langsung semua shighat dan lafazh ijab dan qabul. Untuk memastikan apakah suara yang ada dalam telepon itu benar-benar suara wali atau awakilnya yang bertindak mengijabkan, maka disyaratkan calon suami harus mengenalnya terlebih dahulu sebelumnya. Dan untuk meyakinkan lebih dalam lagi, sbeelum ijab dimuali harus dilakukan tanya jawab tentang kebenaran identitas masing-masing sekaligus mencek suara, untuk mencocokkan dengan suara dalam ijab dan qabul, demikian sebaliknya.[23]
Selain dari rukun nikah, Abu Hanifah, Al-Syafi’i dan Malik sepakat menyatakan bahwa syahadah, yakni kesaksian, merupakan syarat nikah. Sedangkan Abu Tsaur dan satu jama’ah berendapat, kesaksiann sama sekali bukanlah merupakan syarat nikah, bukah syarat sah dan bukan pula syarat tamam. Pendapat seperti ini dalam praktek telah dilakukan oleh Hasan bin Ali. Diriwayatkan darinya bahwa ia telah melaksanakan nnikah tanpa saksi, akan tetapi ia umumkan bahwa ia telah menikah.[24]
            Para ulama memang berselisih pendapat mengenai apakah kesaksian itu merupakan syarat sahnya ‘aqd nikah, atau hanya merupakan syarat tamam. Kendati demikian, mereka sependapat bahwa tidak sah nikah sir. Pangkal tolak perselisihan para fuqaha tentang maslah kesaksian ini ialah perbedaan anggapan mereka antara menghadapi hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah kesaksian ini. Di antara fuqaha ada yang berpendaat bahwa hasdis-hadis tentang syahadah sanadnya lemah, dan bahkan ada yang munqati’.[25]
            Kembali kapada pesoalan pokok, persooalan yang tibul setelahnya ialah disekitar masalah peranan saksi áqd. Para mujahid telah bersepakat mensyaratkan adanya dua orang saksi laki-laki bagi pelaksanaan áqd nikah. Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat boleh saksi itu terdiri dari dua orang laki-laki yang fasik, karena menurut beliau kesaksian dalam nikah itu hanyalah berfungsi li al-i’lan yakni untuk menyiarkan saja.[26]
            Persoalan lain yang muncul ialah persyaratann dua orang saksi yang harus mengikuti semua roses áqd berkurang peranan mereka karena terpecahnya majelis menjadi dua. Dengan berkurangnya peranan kesaksia dua orang saksi, maka dengan sendirinya mengurangi fungsi mereka “menyaksikan”. Dan kalau demikian persoalannya, maka sebenarnya dapat diatasi dengan cara menetapkan masing-masing dua orang saksi bagi masing-masing majelis.[27]

C.    Persyaratan-Persyaratan Baru Karena Áqad Nikah Melalui Telepon

Dalam UU RI NO.1/1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perturan perundang-undangan yang berlaku”. Perturan lain yang berlaku di Indonesia menetapkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan dilakukan melauli PPP. Sebagai warga negara yang baik, ketentuan-ketentuan tersebut haruslah ditaati.[28]
            Adapun syarat bisa dilakukan nikah melalui telepon kaitannya dengan jarak yang memisahkan kedua calon suami isteri. Jika keduanya tinggal pada negara berlainan karena disebabkan menunaikan hajat pokok dalam waktu lama yang ditentukan oleh pihak luar, maka hal itu dapat membolehkan melakukan nikah telepon. Tentu saja hal tersebut jika kedua calon suami isteri sama-sama menghendaki unutk itu dengan dasar keinginan yang sesuai dengan tuntutan syara’.[29]
            Adapun syarat diperbolehkan ‘aqd melauli via telepon yang lain adalah[30]:
1.      Adanya halangan yang baik dan tidak melanggar ketentuan syar’i;
2.      Harus ada kepastian kebenaran dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam majelis pernikahan, seperti wali atau yang mewakili, calon suami atau yang mewakili dan para saksi.
3.      Adanya kekhawatiran akan perbuatan keji, sehingga pernikahan harus dilaksanakan.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Diukur dengan hasil ijtihad ulama-ulama besar terdahulu, khususnya imam mujtahid yang empat, ternyata akad nikah melalui telepon itu memang dapat saja dilakukan dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan dalam hal tertentu. Artinya, secara umum aqad nikah melalui telepon itu tidaklah dapat dikatakan sah, akan tetapi bersifat kasusistik.
Jumhur ulama berpendapat bahwa aqad nikah itu disyaratkan pelaksanaanya dalam satu majelis. Maksud dalam satu majelis disni ialah agar semua pihak yang terlibat dalam aqad nikah itu dapat mengikuti semua proses yang dilaksanakan, terutama ijab dan qabul. Dengan mengikuti proses, maka ikatan yang ditimbulkan ijab dan qabul disadari dan diakui oleh semua pihak, termasuk para saksi. Dalm nikah biasa keadaan seperti it sekaligus memang dapat dicapai, akan tetapi secara fisik juga dapat disatukan. Dalam nikah melalui telepon ijab dan qabul tidak dapat disaksikan secara fisik karena berada ditempat yang berbeda. Namun, keadaaan demikian tidak menutup kemungkinan untuk dicapai suatu majelis.

B.     Kritik dan saran

Kami menyadari dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.



DARTAR PUSTAKA


Budi, Setiawan Utomo, Dr., Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kotemporer, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Kompilasi Hukum Islam
Shomad, Abdul, Dr., Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dan Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
T., Chuzaimah Yanggo, Dr., H., dan Hafiz, A. Anshary Az, MA., Drs., H., Problematika Hukum Islam Kotemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet-5, 2008.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974






[1] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.102.
[2] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.102.
[3] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.103.
[4] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.103.
[5] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.104.
[6] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.105.
[7] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.107.
[8] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[9] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[10] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[11] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[12] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[13] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[14] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[15] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[16] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[17] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[18] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[19] Hal. 110.
[20] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.110.
[21] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.111.
[22] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.111.
[23] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.112.
[24] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[25] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[26] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.112.
[27] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.113.
[28] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.114.
[29] Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.115.
[30] Baca Chuzaimah T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.116.

0 Response to "Perkawinan Jarak Jauh Melalui Media Sosial"

Post a Comment