MAKALAH MASAIL FIQHIYYAH
Perkawinan Jarak Jauh Melali Media
Sosial
Dosen pembimbing : Dr. H. Thalabi
Kharli
Disusun Oleh:
ADLUL ALGHOFIQI (1112044100006)
JURUSAN PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (SAS)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tahun Akademik 2013/2014
KATA PENGANTAR
Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur kami ucapkan kepada
Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah memberikan kita semua nikmatnya.
Berkat nikmat-nikmat yang telah Allah berikan tersebut kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah Masail Fiqhiyyah yang berjudul Perkawinan Jarak Jauh Melalui
Media Sosial ini.
Shalawat dan salam kami kirimkan kepada pemimpin umat yaitu Nabi
Muhammad SAW. yang telah mengubah tata kehidupan manusia dari zaman yang tidak
beradab menuju zaman yang beradab dan melimpah dengan ilmu pengetahuan.
Selanjtnya kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah, Bapak Dr. H. Thalabi Kharli, yang telah memberikan
kepercayaan kepada kami untuk membuat makalah yang membahas tentang Pernikahan
Jarak Jauh Melalui Media Sosial. Selanjutnya kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang terkait yang telah memberikan sumbangsihnya dalam
pembuatan makalah ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu tanpa
mengurangi rasa terima kasih kami.
Kami sadar dalam penyajian makalah ini terdapat kekurangan dan atau
kekeliruan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
saudara/i guna mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Ciputat,
4 desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................................
PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
1. Mempelai laki-laki/ calon suami.................................................................... 2
2. Mempelai wanita/ calon isteri........................................................................ 2
3. Wali nikah..................................................................................................... 3
4. Dua orang saksi............................................................................................. 4
5. Ijab dan qabul................................................................................................ 5
PENUTUP................................................................................................................ 8
A. Kesimpulan................................................................................................... 8
B. Kritik dan saran............................................................................................. 8
DARTAR PUSTAKA............................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa perkembangan zaman telah membawa
kita masuk ke dalam dunia modern. Secara otomatis, kehidupan manusia yang telah
masuk ke dalam dunia modern yang dipenuhi dengan berbagai macam teknologi yang
membantu manusia dalam menyelesaikan rutinitas kehidupannya.
Dengan perkembangan teknologi ini akan memberikan dampak baru dalam
persoalan fiqh. Timbulnya berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat
yang timbul akibat dari dampak perkembangan ini memberikan tantangan kepada
umat Islam untuk dapat menjawab persoalan tersebut agar tidak terjadi
penyimpangan dalam kehidupan masyarakat di era modrenisasi ini.
Salah satu dari akibat adanya perkembangan teknologi adalah
terjadinya pernikahan jarak jauh dengan menggunakan alat-alat teknologi yang
bisa menyambungkan satu pihak ke pihak yang lain sehingga dapat terjadi
komunikasi yang saling bersahut antara satu dengan yang lainnya.
Dalam makalah ini akan dibahas dan di ulas pemecahan permasalahan
pernikahan jarak jauh ini dengan bertolak dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pendapat
para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aqad Nikah Via Telepon
Sebagian fuqaha
dalam mengemukakan hakikat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriah yang
bersifat normatif. Seolah-olah akibat dari sahnya sebuah perkawinan hanya
terbatas pada timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat
dilarang, yakni berhubungan badan antara seorang laki-laki dengen perempuan.[1]
Konstatasi seperti
di atas muncul dari pengertian yang dapat disimak dari defenisi nikah yang
merkea susun. Fuqaha para pengikut imam yang empat (Syafií, Maliki, Hanbali dan
Hanifah) umumnya mendefenisikan nikah sebagai áqd yang membawa kebolehan
bagi seorang laki-laki (suami) untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan
(isteri). Salah satu hal yang dapat ditangkap dari rumusan ini ialah hakikat
perkawinan (pernikahan) tidak lain dari institusi yang diletakkan oleh Syarí
guna menyalurkan tabiat kemanusiaan yang memiliki syahwat atau nafsu
birahi, secara sah. Berkaitan dengan hal ini, sebagaimana dimaklumi,
perhubungan badan sebelum aqad nikah adalah perubuatan zina yang diharamkan.
Dengan terlaksananya aqad nikah, maka perhubungan yang sebelumnya dilarang itu,
berubah menjadi boleh dan halal. Bersesuaian dnegan ini, Allah SWT berfirman[2]:
... £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 ...
...Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu
adalah pakaian bagi mereka... (QS.
Al-Baqarah (2):187).
Dari gambaran di
atas dapatlah dimengerti mengapa para fuqaha menyusun defenisi seperti di atas
walaupun kelihatan agak dengkal, akan tetapi justru menunjukkan betapa
pentingnya kedudukan aqad nikah ditinjau dari sudut tabiat manusia. Dengan
terlaksananya aqad nikah, yang haram menjadi halal. Karena itu, jika tabiat
kemanusiaan telah sampai pada tingkat mendesak, satu-satunya jalan yang benar
untuk ditempuh adalah melaksanakan pernikahan agar seseorang jangan sampai
terjerumus melakukan perbuatan zina. Barangkali, antara inilah Rasulullah SAW
bersanda[3]:
يا معشر الشباب من
استطاع منكم تاباءة فاليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج, و من لم يستطع فعليه
بالصوم فانه له وجاء
“Hai para
pemuda, bararng siapa di antara kamu telah sanggup berumah tangga, maka
kawinlah, karena kawin itu lebih merundukkan mata dan lebih memelihara faraj
(kemaluan). Dan barang siapa belum sanggup maka hendaklah ia berpuasa, karena
puasa itu melemahkan syahwat.” (H.R. Bukhari Muslim).
Walaupun dalam hadis tadi disebutkan bahwa remaja tidak mampun
melaksanakan perkawinan hendaklah ia berpuasa supaya dapat mengendalikan nadsu
syahwatnya. Akan tetapi sudah barang tentu yang bersangkutan sendiri akan sulit
melakukan puasa terus menerus. Oleh karena itu, barangkali puasa yang
dianjurkan oleh Nabi merupakan penangkal sementara. Dalam hadis lain Nabi
sendiri tidak membernarkan orang melakukan puasa berkepanjangan dan tetap
membujang.[4]
Dapat disipulkan
bahwa menurut Islam orang yang sudah pantas dan mampu melaksanakan perkawinan,
hendaklah ia menikah dan dinikahkan. Perkawinan adalah wadah bagi seorang
muslim untuk menepati fitrah dan tabiat basyariahnya. Dari sini mulai
tersingkaplah arti penting dari perkawinan itu. Akan tetapi jika pemahaman kita tentang seluk
belk perkawinan lebih diperluas lagi, sebenarnya proyeksi seperti di atas
belumlah menggambarkan secara utuh akan hakikat perkawinan menurut ajaran
Islam.[5]
Dalam pemahaman
dan penghayatan seperti itulah tampaknya Abu Zahrah menyusun ta’rif nikah
atau perkawinan sebagai ‘aqd yang menimbulkan halalnya perhubungan raga
antara seorang laki-laki seorang perempuan, tolong-menolong antara keduanya dan
menyatukan hak-hak dan kewajiban keduanya ditambahkah bahwa yang diaksud dengan
hak dan kewajiban disini ialah menurut ketentuan yang tlah digariskan oleh Syar’i.ketentuan
itu sendiri tidak boleh dikalahkan oleh perjanjian-perjanjian lain yang dibuat
oleh pasangan yang melaksanakna ‘aqd. Itulah sebabnya kata Abu Zahrah,
bangsa-bangsa di dunia umumnya meletakkan hal-ihwal yang bersnagkut paut dengan
perkawinan itu, di bawah hukum agam agar efek keagamaan dari pelaksanaan
perkawinan itu secara praktis akan membekas. Dengan kata lain kemauan seseorang
untuk menikah dengan pelaksanaan ‘aqd yang sesuai dengan hukum agama
pada hakikatnya adalah juga kemauan untuk menundukkan diri di hadapan hukum
agama.[6]
Sah atau tidaknya
perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada ‘aqdnya. Karena
sedemikian rupa pentingnya ‘aqd dalam perkawinan itu, maka berdasarkan
dalil yang ditemui, para fuqaha telah berijtihad syarat-syarat dan rukun
untuk sahnya suatu ‘aqd nikah. Salah satu dari rukun ‘adq perkawinan
yang telah disepakati ialah ijab dan qabul. Ijab oleh wali
dan qabul dari calon suami. Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan
qabul ini, atas pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
muncul pertanyaan baru; sahkah ‘aqd nikah yang ijab dan qabulnya
dilaksanakan melalui telepon? Bahkan masalah ini bukan baru terbatas pada
pertanyaan melainkan telah muncul sebagai kasus yang telah terjadi dan
dilakukan oleh Warga Negara Indonesia yang beragama Islam.[7]
Rukun perkawinan, untuk melaksanakan rukun perkawinan harus ada
beberapa komponen, yakni:[8]
1.
Mempelai
laki-laki/ calon suami;
Syarat calon suami[9]
a.
Bukan mahean
dari calon isteri;
b.
Tidak terpaksa/
atas kemauan sendiri;
c.
Orangnya
tertentu/ jelas orangnya;
d.
Tidak sedang
menjalankan ibadah ihram haji.
Dalam Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan
juga bahwa calon suami menimum berusia 19 tahun.
2.
Mempelai
wanita/ calon isteri;[10]
Syarat calon isteri[11]
a.
Tidak ada
halangan hukum, yakni:
i.
Tidak bersuami;
ii.
Bukan mahram;
iii.
Tidak sedang
dalam idah;
b.
Merdeka atas
kemauan sendiri, dalam Pasal 16 KHI disebutkan bentik persetujuan calon
mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan
atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan
yang tegas. Bila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai,
maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (Pasal 17 (2) KHI)
c.
Jelas orangnya;
d.
Tidak sedang
berihram haji;
e.
Pasal 6 1/74 +
15 KHI.
3.
Wali nikah;[12]
Syarat wali[13]
a.
Laki-laki;
b.
Baligh;
c.
Waras akalnya;
d.
Tidak dipaksa;
e.
Adil;
f.
Tidak sedang
ihram haji.
4.
Dua orang
saksi;[14]
Syarat saksi-saksi[15]
a.
Laki-laki;
b.
Baligh;
c.
Waras akalnya;
d.
Dapat mendengar
dan melihat;
e.
Bebas, tidak
dipaksa;
f.
Tidak sedang
mengerjakan ihram haji;
g.
Memahami ...
yang dipergunakan untuk ijab qabul
Syarat ijab dan qabul[17]
a.
Dilakukan
dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad
dan saksi);
b.
Singkat
hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu lampau atau salah seorang
menggunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat
yang menunjukkan waktu yang akan datang.
Dari rukun-rukun
dan syarat-syarat di atas, tidak ada yang mengungkapkan terjadinya pertemuan
secara langsung atau pertemuan fisik dalam proses akad nikah tersebut.
B.
Makna Ijab-Qabul
Dan Peranan Syahadah
Al-Jazairi
menyimpulkan bahwa rukun nikah ada dua. Pertama, al-ijab, yaitu lafazh
yang muncul dari wali atau orang lain yang menempati keduduka wali. Kedua, al-qabul,
yaitu shighat atau lafazh yang muncul dari calon suami atau orang
lain yang menempati kedudukannya. Dengan ini, dapatlah diketahui bahwa esensi ‘aqd
nikah terdiri atas tiga faktor: al-ijab, al-qabul dan ikatan yang
timbul atas akibat terlaksananya al-ijab, al-qabul tersebut. Adapun yang
dimaksud dengan orang lain yang menempati kedudukan wali atau kedudukan suami
seperti tersebut di atat adalah wakil,
dalam keadaan jika keduanya atau salah sat mewakilkan atau diwakili
orang lain.[18]
Para fuqaha
sepakat antara ijab dengan qabul haruslah bersambung, kecuali
Imam Malik. Tampaknya yang dimaksud dengan bersambung dalam ijab dan qabul
itu adalah masih berkait, tidak keluar dari konteks yang sedang dihadapi.
Artinya, antara ijab dan qabul itu diyakini melahirkan ikatan. Oleh
karenanya selama semua yang terlibat dalam áqd itu masih meyakini
munculnya oleh ijab dan qabul itu, waluapun tidak benar-benar
bersambung antara shighat ijan dan shighat qabul, maka masih tetap sah. Kecuali
kalau memang telah diselingi oleh pekerjaan lain yang menyimpang dari konteks,
baik sengaja dilakukan atau terpaksa karena pengaruh luar, harus diulangi. [19]
Dalam kenyataan dapat dialami langsung oleh siapa saja walaupun
oleh orang yang tidak mengerti seluk-beluk teknologi telepon, bahwa telepon dapat
menyampaikan suara dari jarak jauh. Suara yang disampaikan melalui telepon itu
bisa terdengar persis sebagaimana dari sumbernya. Baik sumber itu langsung
orang atau rekaman kaset. Bahkan walaupun pada jarak jauh telepon dapat
mengirimkan suara itu dengan cepat, sebanding dengan kecepatan suara ketika dua
orang berbicara dengan berhadap-hadapan langsung dalam satu tempat. Demikian
pula halnya walaupun melalui mediator, mic dan loadspeaker umpamanya,
agar suara yang muncul bertambah keras sehingga bisa didengar oleh orang
banyak, telepon tetap dapat menyampaikan suara dari sumbernya secara persisi
terutama tekanan fokalnya.[20]
Dengan kata lain, manipulasi suara dalam telepon hanya mungkin
terjadi melalui sumber yang berupa rekaman, baik rekapan piring hitam, tape
recorder, maupun vidio kaset. Selama dapat diketahui bahwa suara dalam
telepon benar-benar bersumber dari orang yang sedang bicara langsung, maka
tidaklah perlu diragukan akan terjadi penyamaran.[21]
Untuk mengetahui dari siapa suara dalam telepon sudah barang tentu pertama,
antara dua pihak yang terlibat dalam pembicaraan terlebih dahulu harus
saling mengenal sebelumnya. Kedua, apakah suara itu langsung atau
rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks atau tidaknya pembicaraan antar
kedua belah pihak untuk membuktikan bahwa apakah suara itu reaksi langsung atau
bukan. Kalau yang terakhir ini sudah terbukti, maka hakikat pembicaraan sama
dengan berhadap-hadapan tanpa berhadapan secara fisik.[22]
Dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapatlah diambil penegasan
sementara bahwa ijab dan qabul dalam áqd nikah dapat
dilakukan melauli telepon karena telepon kenyataannya tidak menghalangi terjadinya
dioalog langsung antara pihak-pihak yang berbicara sebagaimana yang dilakukan
dalam ijab qabul dalam satu majelis. Dengan memakai alat pengeras
suara, suara dalam telepon akan dapat didengar oleh orang sekitarnya -dalam áqd
nikah para saksi akan dapat mendengarkan langsung semua shighat dan lafazh ijab
dan qabul. Untuk memastikan apakah suara yang ada dalam telepon itu
benar-benar suara wali atau awakilnya yang bertindak mengijabkan, maka
disyaratkan calon suami harus mengenalnya terlebih dahulu sebelumnya. Dan untuk
meyakinkan lebih dalam lagi, sbeelum ijab dimuali harus dilakukan tanya
jawab tentang kebenaran identitas masing-masing sekaligus mencek suara, untuk
mencocokkan dengan suara dalam ijab dan qabul, demikian
sebaliknya.[23]
Selain dari rukun nikah, Abu Hanifah, Al-Syafi’i dan Malik sepakat
menyatakan bahwa syahadah, yakni kesaksian, merupakan syarat nikah.
Sedangkan Abu Tsaur dan satu jama’ah berendapat, kesaksiann sama sekali
bukanlah merupakan syarat nikah, bukah syarat sah dan bukan pula syarat tamam.
Pendapat seperti ini dalam praktek telah dilakukan oleh Hasan bin Ali.
Diriwayatkan darinya bahwa ia telah melaksanakan nnikah tanpa saksi, akan
tetapi ia umumkan bahwa ia telah menikah.[24]
Para ulama memang
berselisih pendapat mengenai apakah kesaksian itu merupakan syarat sahnya ‘aqd
nikah, atau hanya merupakan syarat tamam. Kendati demikian, mereka
sependapat bahwa tidak sah nikah sir. Pangkal tolak perselisihan para
fuqaha tentang maslah kesaksian ini ialah perbedaan anggapan mereka antara
menghadapi hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah kesaksian ini. Di antara
fuqaha ada yang berpendaat bahwa hasdis-hadis tentang syahadah sanadnya lemah,
dan bahkan ada yang munqati’.[25]
Kembali kapada
pesoalan pokok, persooalan yang tibul setelahnya ialah disekitar masalah
peranan saksi áqd. Para mujahid telah bersepakat mensyaratkan adanya dua
orang saksi laki-laki bagi pelaksanaan áqd nikah. Dalam hal ini Abu
Hanifah berpendapat boleh saksi itu terdiri dari dua orang laki-laki yang
fasik, karena menurut beliau kesaksian dalam nikah itu hanyalah berfungsi li
al-i’lan yakni untuk menyiarkan saja.[26]
Persoalan lain
yang muncul ialah persyaratann dua orang saksi yang harus mengikuti semua roses
áqd berkurang peranan mereka karena terpecahnya majelis menjadi dua.
Dengan berkurangnya peranan kesaksia dua orang saksi, maka dengan sendirinya
mengurangi fungsi mereka “menyaksikan”. Dan kalau demikian persoalannya, maka
sebenarnya dapat diatasi dengan cara menetapkan masing-masing dua orang saksi
bagi masing-masing majelis.[27]
C.
Persyaratan-Persyaratan Baru
Karena Áqad Nikah Melalui Telepon
Dalam UU RI NO.1/1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (2)
disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perturan
perundang-undangan yang berlaku”. Perturan lain yang berlaku di Indonesia
menetapkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan dilakukan melauli PPP.
Sebagai warga negara yang baik, ketentuan-ketentuan tersebut haruslah ditaati.[28]
Adapun syarat bisa
dilakukan nikah melalui telepon kaitannya dengan jarak yang memisahkan kedua
calon suami isteri. Jika keduanya tinggal pada negara berlainan karena
disebabkan menunaikan hajat pokok dalam waktu lama yang ditentukan oleh pihak
luar, maka hal itu dapat membolehkan melakukan nikah telepon. Tentu saja hal
tersebut jika kedua calon suami isteri sama-sama menghendaki unutk itu dengan
dasar keinginan yang sesuai dengan tuntutan syara’.[29]
Adapun syarat
diperbolehkan ‘aqd melauli via telepon yang lain adalah[30]:
1.
Adanya halangan
yang baik dan tidak melanggar ketentuan syar’i;
2.
Harus ada
kepastian kebenaran dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam majelis
pernikahan, seperti wali atau yang mewakili, calon suami atau yang mewakili dan
para saksi.
3.
Adanya
kekhawatiran akan perbuatan keji, sehingga pernikahan harus dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Diukur dengan hasil ijtihad ulama-ulama besar terdahulu, khususnya imam
mujtahid yang empat, ternyata akad nikah melalui telepon itu memang dapat saja
dilakukan dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan dalam hal tertentu.
Artinya, secara umum aqad nikah melalui telepon itu tidaklah dapat dikatakan
sah, akan tetapi bersifat kasusistik.
Jumhur ulama berpendapat bahwa aqad nikah itu disyaratkan
pelaksanaanya dalam satu majelis. Maksud dalam satu majelis disni ialah agar
semua pihak yang terlibat dalam aqad nikah itu dapat mengikuti semua proses
yang dilaksanakan, terutama ijab dan qabul. Dengan mengikuti
proses, maka ikatan yang ditimbulkan ijab dan qabul disadari dan
diakui oleh semua pihak, termasuk para saksi. Dalm nikah biasa keadaan seperti
it sekaligus memang dapat dicapai, akan tetapi secara fisik juga dapat
disatukan. Dalam nikah melalui telepon ijab dan qabul tidak dapat
disaksikan secara fisik karena berada ditempat yang berbeda. Namun, keadaaan
demikian tidak menutup kemungkinan untuk dicapai suatu majelis.
B.
Kritik dan saran
Kami menyadari dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
DARTAR PUSTAKA
Budi, Setiawan Utomo, Dr., Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kotemporer, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Kompilasi Hukum Islam
Shomad, Abdul, Dr., Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dan
Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
T., Chuzaimah Yanggo, Dr., H., dan Hafiz, A. Anshary Az, MA., Drs.,
H., Problematika Hukum Islam Kotemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet-5, 2008.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
[1] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.102.
[2] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.102.
[3] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.103.
[4] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.103.
[5] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.104.
[6] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.105.
[7] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.107.
[8] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[9] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[10] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[11] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[12] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[13] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[14] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[15] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[16] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 277.
[17] Abdul Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana),
2010, Cet. Ke-1, hal. 278.
[18] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[19] Hal. 110.
[20] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.110.
[21] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.111.
[22] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.111.
[23] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.112.
[24] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[25] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.108.
[26] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.112.
[27] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.113.
[28] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.114.
[29] Chuzaimah T
dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.115.
[30] Baca Chuzaimah
T dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus), 2008, cet-ke5, hal.116.
0 Response to "Perkawinan Jarak Jauh Melalui Media Sosial"
Post a Comment