BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Qaw’id fiqhiyah adalah salah
satu metode pengambilan hukum yang dirancang sebagai landasan, setelah Nash
tentunya, filosofi dari semua rumusan hukum yang dilekukan para ulama. Dengan
demikian, maka mendalami dan memahami qawa’id fiqhiyah sangat berguna
bagi ummat muslim karena mempermudah dalam menjalani kehidupan sesuai tuntunan
syar’i.
Salam satu kaidah yang terdapat dalam qawa’i fiqhiyah adalah
الخُرُوْجُ مِنَ
الْخِلَافِ مُسْتَحَبُّ. Menurut sebagian ulama, kaidah ini merupakan kaidah yang sulit
untuk dipahami. Namun, untuk kemaslahatan umat maka kaidah ini dikupas oleh
para ulama sedemikian rupa sehingga memberikan pemahaman yang baik bagi
masyarakat. Kaidah ini mengajarkan umat muslim dalam menyikapi perbedaan
pendapat dan pemahaman yang terjadi dikalangan para ulama sehingga
mengakibatkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat yang akan berakibat
negatif bagi masyarakat.
Dalam makah ini akan dibahas mengenai kaidah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KAIDAH
الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبُّ
“Keluar
dari perbedaan pendapat adalah diannjurkan”
Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan
yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dalam khazanah intelektual fikih, kita agak sulit memahami kaidah
ini apabila khilaf dipahami sebagai perbedaan pendapat. Akan tetapi,
apabila yang dimaksud dengan khilaf adalah perselisihan atau
persengketaan, kita dapat memahami kaidah tersebut, karena keputusan hakim
dipengadilan, pada dasarnya, adalah untuk mengeluarkan menusia dari
perselisihan dan persengketaan.
Kaidah ini memotifasi umat Islam agar selalu menjaga persatuan dan
mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan
itu adalah sunnatullah. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar
selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Pengertian khilaf
adalah ketidaksamaan memahami sesuatu, namun masih mengacu kepada satu pokok, sebagaimana
perbedaan dikalangan pemikir Islam.
Khilaf berbeda dengan tanaqudh
(pertentangan), karena tanaqudh merupakan ketidaksamaan pendapat
terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang meliputinya,
sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dengan non-muslim.
Dalam kehidupan bersama, sering terjadi perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi,
berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi
yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar
masyarakat menjadi tenang kembali.
Banyak ulama yang mengakui bahwa kaidah ini tergolong kaidah yang
sulit kajiannya. Sebagian ulama ada yang mempertanyakan substansi keutamaan
kaidah; apakah memang ada nash yang secara spesifik menerangkan
keutamaan menghindari khilaf. Kejanggalan yang mengemuka ini akhirnya
mendapat jawaban dari Ibn Al-Subuki, yang mengatakan bahwa meski tidak
ditemukan nash yang secara tegas menyinggung kesunnahan atau keutamaan
menghindari khilaf ulama, namun keutamaan menghindari ulama ini, pada
dasarnya telah tercakup dalam substansi nash yang intinya berupa
pembebasan diri dari silang pendapat ulama yang berisinggungan dengan masalah keagamaan.
B. DASAR KAIDAH
Menurut Tajuddin As-Subky, kaidah ini berasal dari Firman Allah
SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari perasangka,
sesungguhnya sebagian perasangka itu adalah dosa.”(QS. Al-Hujurat: 12)
Selanjutnya beliau berkata, bahwa ayat ini mengandung perintah
untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak bedosa, karena dikhawatirkan
jatuh kepada pekerjaan yang bedosa. Tindakan berhati-hati ini memang
kadang-kadang menganggap ada terhadap barang yang tidak ada, dan sesuatu yang
diragu-ragukan menjadi seperti sungguh-sungguh.
Secara tersirat ayat ini menginformasikan kepada manusia untuk ekstra
berhati-hati, dengan senantiasa menjauhi perbuatan yang nyata-nyata positif
(tidak berdosa) demi mengantisipasi kemungkinan berbuat dosa. Metode yang
diajarkan para ulama adalah kehati-hatian dengan mengandaikan sesuatu yang
kenyataannya tidak ada seperti sesuatu yang betul-betul ada.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
فمن اتقى
الشبهات فقد استبرأ لدينه و عرضه
“Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat
(tidak jelas hukumnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agamanya dan
kehormatannya.” (Muttafaq
‘Alaih)
C. SYARAT
Para ulama memberikan beberapa ketentuan, sejauh mana perbedaan itu
bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan
kerancuan.
1.
Pendapat
yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahannya.
2.
Perbedaan
pendapat tidak bertentangan dengan hadis yang shahih dan hasan.
3.
Jangan
sampai membawa khilaf lain.
4.
Jangan
sampai menselisihkan sunnah yang tsabitah.
5.
Hendaknya
kuat dasarnya, tidak hanya dianggap sebagai suatu kesilapan.
D. CONTOH
KAIDAH
Contoh kongkrit
dari kaidah ini adalah:
1.
Wudhu
Disunnahkan
membasuh seluruh rambut kepala saat berwudhu, agar terbebas dari perbedaan
pendapat dengan Maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari
rambut kepala, namun keseluruhannya.
2.
Tentang
fenomena shalat Id jatuh pada hari jum;at, apakah wajib shalat jumat ketika ia
sudah melakukan shalat Id?
Menurut pendapat Syafi’i tetap wajib. Ini dikarenakan ayat yang
memerintahkannya dan hadis yang menunjukkan wajibnya adalah bersifat umum. Ini
juga merupakan pendapat Maliki dan Hanafi.sedangkan menurut Hanbali, ketika
sudah melakukan shalat Id, maka tidak wajib melakukan shalat juma’at bagi
makmum. Dari kaidah ini, maka mereka dari golongan Hanabilah atau yang sama
dengannya akan berkata, disunnahkan shalat jum’at, karena keluar dari
perkhilafan bagi orang yang mewajibkannya. Ini sama seperti yang dilakukan
dalam mazhab lain terutama Syafi’i. Dalam kitab Fath al-Mu’in misalnya,
disunnahkan membasuh seluruh kepala sebagai keluar dari khilaf orang yang
mewajibkannya. Ini dikarenakan mazhab Hanafi
misalnya mewajibkan membasuh seluruh kepala. Sedangkan mazhab Syafi’i
hanya sebagian kepala.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam qawa’id fiqhiyahqawa’id fiqhiyah terdapat banyak
kaidah dan salah satunya adalah الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبُّ “Keluar dari
khilaf itu diannjurkan”. Kaidah yang
menurut ulama sulit namun penting dalam menyikapi perbedaan yang terjadi
dikalangan ulama. Namun ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam mengaplikasikan
kaidah ini.
B. KRITIK DAN
SARAN
Kami sadar dalam
penyajian makalah ini terdapat kekurangan-kekurangannya. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan partisipasi dari Saudara/i sekalian berupa kritik dan saran
demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah ilmu Fiqih (Al-Qawa’idul
Fiqhiyyah), Jakarta: Kalam Mulia, 2013, cet.ke-9.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah Kaidah Asasi, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
0 Response to "QAWA‘ID FIQHIYYAH"
Post a Comment